Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bayang-bayang Kampung Halaman di Tempat Baru

25 Mei 2016   04:49 Diperbarui: 25 Mei 2016   21:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
karya asli Agustinus Wahyono

Itu yang Ibu katakan, orang dulu berprinsip ‘banyak anak banyak rezeki’. Dan, orang kini tidak lagi begitu karena kebijakan perusahaan sudah berubah, dimana jatah sembako hanya diperuntukkan pada keluarga yang memiliki dua-tiga anak. Lebih dari tiga anak, kebutuhan wajib ditanggung sendiri.

Persoalan sekarang, yang sedang ditawarkan Ibu, adalah pasangan hidup untukku. Pasangan hidup, jodoh, istri, tulang rusuk, atau sejenis itu? Ya, sesosok makhluk yang sempat kulewatkan dari sepanjang jalan perziarahanku di dunia ini.

Sempat kulewatkan ketika suatu waktu seorang ibu tetangga mengatakan bahwa mengapa aku tidak tertarik pada anaknya yang sepantaran denganku. Pada waktu lainnya, seorang ibu juga mengatakan, tepatnya menyayangkan, mengapa aku tidak jadian dengan anaknya, yang juga sepantaran denganku.

Dan, akhirnya, seorang ibu lainnya, selalu mengabarkan perihal anaknya, yang sudah berkeluarga tetapi nada ibu itu seakan memendam sesuatu karena aku memang sempat dekat dengan anaknya, bahkan nyaris saban hari bertandang ke rumah mereka. Pada waktu itu Ibuku juga bergaul dekat dengan ibunya, dan Ibuku selalu mengatakan bahwa sebaiknya aku menuntaskan pendidikan, dan bekerja, baru kemudian bebas menentukan pilihan. Ternyata?

***

Mengapa, ya, sampai ada tiga ibu tetangga masih berharap padaku? Pertanyaan ini tidak pernah terjawab sampai aku merantau ke luar kampung alias ke Jakarta.

Kuakui, wajah dan penampilan ketiganya tidaklah kampungan, meskipun murni produk udik. Justru sebaliknya, wajahku pas-pasan sebagai laki-laki, dan penampilanku sama sekali tidak pernah parlente, walaupun belasan tahun aku berada di Yogyakarta, yang bagi para tetangga, adalah sebuah kota besar dengan predikat “Kota Pelajar” dan “Kota Budaya”.

Kepada ibu-ibu itu, jawabanku sederhana saja : bukan jodoh. Jelas bukanlah jodohku karena anak mereka kini sudah berkeluarga dengan jumlah anak lebih dari seorang. Tetapi, entah mengapa, ketiga ibu-ibu tetangga selalu senang apabila aku sempatkan diri bertandang dan sekadar menikmati kopi sore bersama suami–bapak anaknya–mereka.

Bersantai pada sore hari dengan tetangga adalah rutinitasku pada waktu tertentu selepas menutup kios untuk istirahat sampai lepas magrib. Ngobrol tentang ini-itu, dan minum kopi. Kalau tidak ke serambi seorang tetangga, aku akan beralih ke serambi tetangga lainnya, dan berikutnya.

Aku merasa ingin kembali akrab bertetangga setelah belasan tahun aku berada sangat jauh dari kampung halaman. Belasan tahun aku melewatkan acara kebersamaan itu sehingga aku merasa ingin menebus waktu-waktu yang terlewatkan. Biasanya, acara bersantai sore akan bubar menjelang senja menjadi temaram disusul bedug dan azan magrib siap berkumandang dari Masjid Nurul Huda, yang jaraknya hanya tujuh rumah dari rumah orangtuaku.

Tradisi sejak dulu, apabila menjelang magrib, orang-orang kampung harus segera masuk ke rumah masing-masing. Entah menyiapkan diri untuk berangkat ke masjid. Entah menyiapkan diri untuk sholat berjamaah dengan keluarga mereka. Entah apa lagi lainnya. Yang jelas, tidak pantas bersantai di luar rumah menjelang saat sholat magrib. Tradisi yang lestari hingga kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun