Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bayang-bayang Kampung Halaman di Tempat Baru

25 Mei 2016   04:49 Diperbarui: 25 Mei 2016   21:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
karya asli Agustinus Wahyono

Dua tahun berada di Ibukota Indonesia, tepatnya Jakarta Barat, seperti deru angin dari angkutan kota warna biru jurusan Indosiar-Trisakti pada masa libur panjang Lebaran. Kesibukanku sebagai kepala studio gambar di sebuah tempat usaha konveksi dan garmen yang melayani pesanan seragam dan lain-lain untuk beberapa daerah di luar Jakarta, perjalanan antara indekos dan tempat kerja, dan suasana metropolitan yang senantiasa bergerak, seolah-olah telah mengelabui perhitungan waktuku.

Sebenarnya aku masih merasa berada di kampung halaman, Sri Pemandang Atas. Aku masih merasa aroma kaus-kaus oblong di kios depan rumah orangtuaku. Aku masih merasa suasana lalu-lalang angkutan kota warna merah jurusan Air Ruai-Pasar Sungailiat.

Yang juga kurasa, tentunya, belum mengenal kamu–perempuan bertato di antara tengkuk dan punggung putih-mulus. Entah kamu di mana, sedang melakukan apa, merasakan apa, dan segala yang entah-berantah, termasuk tentang Komunitas Kata Khayal. Semua tentangmu sama sekali tidak pernah tersampaikan oleh burung princek yang sering singgah di pohon belimbing dekat kiosku.

***

Ingatanku pun masih sangat lekat pada suasana rumah dua tahunan silam atau sebelum aku pindah ke Jakarta. Ingatan ini juga selalu ‘menuduh’ sekaligus ‘menggugat’-ku, seolah-olah aku berangkat ke Jakarta demi menghindar dari kenyataan belaka.

Ibu nek ngenalken ka kek anake kawan Ibu,” ujar Ibuku di meja makan pada saat matahari belum lama bangun dari tidur semalam suntuk.

Ibu mau mengenalkan kamu dengan anaknya kawan Ibu. Aku mengenal kawan Ibu tetapi tidak mengenal anaknya. Kawan Ibu berasal dari Medan, dan suaminya berasal dari Maluku.

Lucu orange, Bang,” timpal adikku yang tengah menyuap anak keduanya.

Cantik orangnya. Aku tidak tahu, secantik siapakah anaknya kawan Ibu. Tetapi adikku pasti pernah beberapa kali berjumpa dengannya karena sering bersama Ibu mengunjungi kawan Ibu. Adikku juga selalu menyindir, kalau tidak cantik, aku pasti tidak mau.

Ya, pastilah begitu, pikirku sembari menyeruput kopi bangka bikinan sebuah pabrik lokal milik sebuah keluarga Tionghoa di pertigaan Singkai Melintang.

Aku yang tidak ganteng, masak, sih, mendapat istri yang tidak cantik? Bagaimana bisa terjadi perbaikan keturunan, ‘kan? Aku selalu berkhayal, mendapat jodoh yang cantik, bagusnya lagi, ditambah jelita.

“Mirip gadis Amerika Latin, Bang! Berkulit putih dan berambut agak bergelombang.”

Cemane? Sembile ikak pacak ketemu?” sela Ibu.

Bagaimana, kapan kalian bisa bertemu? Kapan aku bisa bertemu anaknya kawan Ibu? Sebenarnya, menurutku, persoalan bukanlah pada “waktu”–kapan–untuk bertemu, melainkan apakah aku berminat atau, ya, katakanlah, berniat untuk menapak satu langkah lagi sebagaimana kawan-kawan sepantaranku yang telah menapak ke sana.

Ka pikir-pikir bai luk. Men lah, pada Ibu, ok? Pasale kawan Ibu suah nanyak Ibu, ka nek-dak kek anake. Ni budake tenga pre. Je lah lulos kuliah di Bandung, tenga cuti begawe, tapi langok di sanin.”

Ya, aku pikir-pikir saja dulu. Kalau sudah, beri tahu Ibu. Pasalnya kawan Ibu pernah bertanya pada Ibu, aku mau-nggak sama anaknya. Ini anaknya sedang libur. Dia sudah lulus kuliah di Bandung, sedang cuti bekerja tapi bosan di sana. Gampanglah, pikirku. Jodoh tidak akan ke mana. Kalaupun ke mana, pastilah akan kembali dalam rengkuhan sepanjang riwayat.

Yang sering tidak habis kupikir adalah kawan Ibu adalah ibu bernomor urut ke-4 dalam hal berharap padaku untuk meminang anak mereka. Mengapa para ibu itu bisa nekat berharap begitu, ya, padahal aku bukanlah seorang pangeran, ganteng, kaya raya, dan seterusnya?

***

Usiaku memang tidak muda lagi. Adik bungsuku sudah memiliki dua anak. Di bawahku, masih ada dua adik lagi, dan masing-masing sudah memiliki dua anak.

Dua anak masing-masing adalah keberhasilan Ibu mendidik mengenai Keluarga Berencana di rumah, meski aku memiliki lima saudara kandung. Orang dulu, kata Ibu, berprinsip “banyak anak banyak rezeki” tetapi setelah itu harus direncanakan lagi karena zaman dulu bukanlah seperti zaman kini.

Aku paham perbedaan antara dulu dan kini karena Ibu seorang karyawan di Perusahaan Negara Unit Penambangan Timah Bangka (PN UPTB) atau juga sering disebut TTB (Tambang Timah Bangka). di perusahaan milik negara itu seluruh kebutuhan pokok rumah tangga dicukupi oleh perusahaan. Tidak memiliki rumah? Bisa mendapat jatah rumah dinas, dan tergantung golongannya. Kakak angkatku mendapat jatah rumah dinas di Nangnung.

Bagaimana sandang, pangan, dan seterusnya? Masih mendapat jatah berupa seragam kerja, kain bahan, beras, gula, kacang hijau, dan seterusnya. Kebutuhan anak-anak tercukupi, meskipun memiliki lebih dari tiga anak. Kalau sebuah keluarga memiliki anak berjumlah sepuluh, jatah beras pun terhitung untuk sepuluh anak.

Itu yang Ibu katakan, orang dulu berprinsip ‘banyak anak banyak rezeki’. Dan, orang kini tidak lagi begitu karena kebijakan perusahaan sudah berubah, dimana jatah sembako hanya diperuntukkan pada keluarga yang memiliki dua-tiga anak. Lebih dari tiga anak, kebutuhan wajib ditanggung sendiri.

Persoalan sekarang, yang sedang ditawarkan Ibu, adalah pasangan hidup untukku. Pasangan hidup, jodoh, istri, tulang rusuk, atau sejenis itu? Ya, sesosok makhluk yang sempat kulewatkan dari sepanjang jalan perziarahanku di dunia ini.

Sempat kulewatkan ketika suatu waktu seorang ibu tetangga mengatakan bahwa mengapa aku tidak tertarik pada anaknya yang sepantaran denganku. Pada waktu lainnya, seorang ibu juga mengatakan, tepatnya menyayangkan, mengapa aku tidak jadian dengan anaknya, yang juga sepantaran denganku.

Dan, akhirnya, seorang ibu lainnya, selalu mengabarkan perihal anaknya, yang sudah berkeluarga tetapi nada ibu itu seakan memendam sesuatu karena aku memang sempat dekat dengan anaknya, bahkan nyaris saban hari bertandang ke rumah mereka. Pada waktu itu Ibuku juga bergaul dekat dengan ibunya, dan Ibuku selalu mengatakan bahwa sebaiknya aku menuntaskan pendidikan, dan bekerja, baru kemudian bebas menentukan pilihan. Ternyata?

***

Mengapa, ya, sampai ada tiga ibu tetangga masih berharap padaku? Pertanyaan ini tidak pernah terjawab sampai aku merantau ke luar kampung alias ke Jakarta.

Kuakui, wajah dan penampilan ketiganya tidaklah kampungan, meskipun murni produk udik. Justru sebaliknya, wajahku pas-pasan sebagai laki-laki, dan penampilanku sama sekali tidak pernah parlente, walaupun belasan tahun aku berada di Yogyakarta, yang bagi para tetangga, adalah sebuah kota besar dengan predikat “Kota Pelajar” dan “Kota Budaya”.

Kepada ibu-ibu itu, jawabanku sederhana saja : bukan jodoh. Jelas bukanlah jodohku karena anak mereka kini sudah berkeluarga dengan jumlah anak lebih dari seorang. Tetapi, entah mengapa, ketiga ibu-ibu tetangga selalu senang apabila aku sempatkan diri bertandang dan sekadar menikmati kopi sore bersama suami–bapak anaknya–mereka.

Bersantai pada sore hari dengan tetangga adalah rutinitasku pada waktu tertentu selepas menutup kios untuk istirahat sampai lepas magrib. Ngobrol tentang ini-itu, dan minum kopi. Kalau tidak ke serambi seorang tetangga, aku akan beralih ke serambi tetangga lainnya, dan berikutnya.

Aku merasa ingin kembali akrab bertetangga setelah belasan tahun aku berada sangat jauh dari kampung halaman. Belasan tahun aku melewatkan acara kebersamaan itu sehingga aku merasa ingin menebus waktu-waktu yang terlewatkan. Biasanya, acara bersantai sore akan bubar menjelang senja menjadi temaram disusul bedug dan azan magrib siap berkumandang dari Masjid Nurul Huda, yang jaraknya hanya tujuh rumah dari rumah orangtuaku.

Tradisi sejak dulu, apabila menjelang magrib, orang-orang kampung harus segera masuk ke rumah masing-masing. Entah menyiapkan diri untuk berangkat ke masjid. Entah menyiapkan diri untuk sholat berjamaah dengan keluarga mereka. Entah apa lagi lainnya. Yang jelas, tidak pantas bersantai di luar rumah menjelang saat sholat magrib. Tradisi yang lestari hingga kini.

Selain itu, oleh sebab kulewatkan begitu saja, anak gadisnya ibu-ibu tetangga pun sudah sampai memiliki anak. Ya, kini justru mereka–anak-anaknya–yang telah jauh melewati aku. Di situ tersering aku senyum sendiri apabila mengingatnya.

***

“Mantan calon mertua selalu akur dengan mantan calon menantu nih,” celetuk seorang tetangga ketika aku melintas di depan rumahnya sepulang dari minum kopi sore. Baju kerja masih melekat di tubuhnya dengan kondisi kelelahan tetapi masih juga memamerkan senyumnya untuk mencandai aku.

Men agik ‘mantan calon’, agik pacaklah akor. Men lah ‘mantan’, dak ken ade akor kisahe,” selerohku. Hal yang jamak. Kalau masih ‘mantan calon’, masih bisalah akur. Kalau sudah ‘mantan’, tidak akan ada akur kisahnya.

Makin nue keciwa urang tue ya.”

Makin parah kecewa orang tua? Sering pula hal ini mengganjal sebagai dilema di hatiku. Kalau aku menjauh atau tidak bertandang, aku khawatir dianggap sombong; tidak mau lagi bertetangga di kampung pelosok mentang-mentang lama di Jawa, lama bergaul di kota besar. Kalau sering atau masih bertandang, malah semakin memarahkan rasa kecewa ibu-bapak tetangga. Jangan-jangan ada salah seorang dari orang tua itu yang mengutukku sehingga aku masih membujang pada saat anak-anak mereka sudah beranak-cucu?

Namun di sisi lain, aku boleh sedikit bersyukur. Pasalnya, ada dua tetangga yang menikahkan anak mereka tetapi beberapa tahun kemudian bercerai. Kekecewaan melanda, baik di keluarga masing-masing maupun di antara tetangga lainnya yang akrab pada kedua anak mereka. Kenyataan yang tidak menyenangkan bagi orang-orang satu kampung, tentunya, meskipun semua itu merupakan hak masing-masing.

Jodoh tu takdir,” lagi-lagi alasanku.“Ukan kegatel ape mikin keciwa. Di atasku agik ade yang lom kawin. Kelak ku ketulah men ngelankah kawan yang lebe tue.”

Aku selalu beralasan bahwa jodoh itu takdir; bukan kegenitan atau membuat kecewa. Dan, di atasku, yang usianya lebih tua, masih ada yang belum menikah; nanti aku kualat kalau melangkahi kawan yang lebih tua. Aku pun tersenyum sendiri kalau mengingat alasanku itu dulu.

Senyumku bisa seketika lenyap seperti asap ditiup angin puting beliung adalah jika adik bungsuku menegurku, lain kali jangan jadi PHP alias pemberi harapan palsu; nggak usah lagi duduk-duduk minum kopi di rumah tetangga. Tidak kalah teguran itu adalah dari kakak sepupuku, “Perayu hati perempuan!” Lengkaplah aku dikeroyok keduanya.

Adik bungsuku dan kakak sepupuku memang kompak karena mereka perempuan, dan sering kali jengkel melihat aku seakan tidak peduli padahal membutuhkan karena aku masih saja terpergok duduk di serambi depan rumah tetangga untuk sekadar ngobrol sambil minum kopi. Walaupun tidak sampai satu jam, pasti mereka akan melihatku sedang berada di salah satu serambi tetangga.

Kelak Abang ne lah kene minom kupi kemat,” selidik adikku.

Jangenlah sebasing nudo urang. Dak baek cem tu, Dik.” Aku harus mengalihkan pikiran adikku dari tuduhan yang sembarangan itu–kelak Abang ini sudah terkena minum kopi pengasihan. Tidak baik seperti itu.

Memang istilah “kupi kemat” alias kopi yang sudah dijampi-jampi untuk sebuah maksud sihir semacam itu bukanlah hal luar biasa. Seorang tetangga, yang dulu sering menyaksikan atraksi band dangdut di sebuah kampung pelosok, akhirnya ketagihan ke sana, menikah dengan miyak sana, dan menetap di sana. Para tetangga pun bergunjing dengan mengaitkannya pada kupi kemat. Padahal, menurutku, sih, jodoh bukanlah soal ilmu sihir atau sesuatu yang sengaja dibuat-buat.

“Mending mulai kini bikin kupi untuk Abang. Selesai.”     

Ya, konsekuensinya, adikku harus selalu menyediakan aku secangkir kopi : pagi dan sore. Sedangkan, kalau aku bertandang ke rumah kakak sepupuku, dia ‘wajib’ menyuguhkan secangkir kopi agar obrolan antara aku dan suaminya bisa mengalihkan keinginanku bertandang ke rumah tetangga.

Lantas, bagaimana dengan anaknya kawan Ibu? Bukankah dia cantik, bahkan, kata adikku, sangat cantik? Bukankah ibunya pun sangat senang jika aku mau menjadi menantu alias suami anaknya?

Aku hanya punya satu jawaban : tidak jodoh. Sederhana dan akurat. Itu menurutku tetapi selalu membuat cemberut adik bungsu dan kakak sepupuku. Akhirnya adikku memvonis, terlalu memilih pasti tidak akan terpilih. Tega, ya?

“Ganjaran untuk seorang PHP yang tega kuadrat!” katanya dengan nada ketus.   

***

Situasi di rumah dan kampung halaman sangat kental  setamat pendidikan di Yogyakarta. Bolak-balik Sungailiat-Yogyakarta sejak SMA tidaklah menyempatkan khayalanku tersangkut di Kota Metropolutan ini.  Bahkan, kota paling gagah se-Indonesia ini merupakan tempat bernomor urut ke-1 dalam daftar kota-kota bukan tujuan merantau.

Khayalan memang tidak tersangkut tetapi nasib adalah sebuah misteri hidup yang tidak pernah mampu dideteksi gejalanya. Demikian pula suatu sejarah yang benar-benar tidak kuasa kuhindari dari bentangan khayalku mengenai tempat tujuan merantau. Bentangan khayalku akhirnya berubah total, dan selalu menjadi bagian kekecewaan ibu-ibu tetanggaku hingga kini.

Jumat pagi, sekitar pukul 09.00 seorang adik kelasku, yang sewaktu SMP menjadi satu rekan denganku di tim bola voli sekolah, mudik dan singgah ke kios kaus oblongku bermerek “Budak Bangka”. Semula dia hanya hendak mencari kaus untuk oleh-oleh.

Selama ini, katanya, oleh-oleh dari Bangka yang selalu dibawanya hanya berupa makanan ringan, misalnya kemplang bakar, keretek, sambelingkung, dan lain-lain. Semua oleh-oleh semacam itu selalu mudah ludes, dan tidak berkesan sepanjang waktu. 

Dia sempat terkejut ketika informasi soal salah tempat oleh-oleh adalah kiosku. Dia tidak menyangka bahwa aku pemiliknya. Di kiosku dia minta kutunjukkan disain-disain kaus oblong, dan motif-motif kreasiku, selain yang sudah tercetak pada kaus oblong dan baju-baju lainnya.

“Bantu aku mengelola usaha konveksi dan garmen di Jakarta, Bang,” pintanya dengan wajah sebinar surya pagi yang membedaki dinding luar kiosku.

Bertahun-tahun di Jakarta, dan memiliki anak buah dari latar asal berbeda-beda, cukup membuat kosakata Bangka-nya berubah. Atau, mungkin dia mengira aku pun sudah berubah dalam berbahasa gara-gara sekian tahun bersekolah di Yogyakarta.

Ndok, anak buah ka ke mane?” Mau-tidak mau aku harus menggunakan bahasa lokal karena aku selalu menggunakan bahasa asal. Lho, anak buahmu ke mana, begitu artinya.

“Andalanku ninggel…”

“Oh, sori. Jangen ka terosken.” Aku paling tidak tahan kalau mendengar kata “meninggal dunia”. Jangan diteruskan soal sebab-musabab, dan bagaimana kejadiannya.

Tu lah. Abang bantulah kami.”

Berin waktu, ok?”

Ya, beri waktu aku berpikir karena aku juga mengelola usaha sendiri. Usahaku ini adalah usaha milik keluarga besar. Modal utamanya juga milik keluarga besar.

“Sampai sembile, wo? Bisok siang ku lah ngulek ke Jakarta.”

Iya, ya, sampai kapan, ya? Besok siang dia sudah kembali ke Jakarta.

***

“Jadi, sembile pacak ketemu anake kawan Ibu?”

Sudah dua kali Ibu menanyakan kesiapan waktuku untuk bertemu langsung dengan anaknya kawan Ibu. Kali kedua ini pada waktu aku makan siang, dan kios dijaga oleh adik bungsuku sambil mengasuh anaknya.

"Ibu punye numor hape je, dak?” Aku menanyakan hal paling konyol karena manalah mungkin Ibu memiliki ataupun mengetahui nomor ponselnya.

"O, kelak Ibu nanya kek kawan Ibu.”

Aduh, rupanya Ibu tidak menangkap kekonyolanku. Ibu tetap berusaha untuk bisa mempertemukan aku dan anaknya kawan Ibu. Dari nada Ibu pun terkesan bahwa antara Ibu dan kawan Ibu sudah siap dan bersepakat untuk menjadi besan.

Tak pelak, acara makan siang itu tanpa membuat perutku terasa ada isinya. Bukan soal sayur jamur kegemaranku tidak lezat; justru selalu lezat kalau sudah dimasak oleh Ibu. Bukan soal lauk ikan cew yang digoreng garing yang selalu menjadi lauk andalanku. Tetapi soal “kapan bisa bertemu anaknya kawan Ibu.

Sambil mencuci piring, sekilas kubayangkan, seperti apa, sih, kecantikannya apalagi mirip gadis Amerika Latin. Kalau adikku sudah berani memvonis “cantik orangnya”, sudah lebih dari cukup untuk dijadikan semacam jaminan istimewa. Artinya, sangat sesuai dengan sesuatu yang bisa dibanggakan, adikku juga senang jika benar-benar aku mau dan meminangnya, hingga akhirnya menjadi kakak ipar adikku.

Kubayangkan juga wajah kawan Ibuku dan suaminya. Aku pernah bertemu kawan Ibu sewaktu disuruh Ibu mengantarkan anggrek pesanan kawan Ibu tetapi tidak bisa ngobrol. Hanya sebatas sapa. Aku sungkan, segan, dan pekewuh, semua membaur.

Sekilas saja. Lantas kusingkirkan bayangan itu karena aku mau kembali ke kios di depan rumah. Mungkin sebentar lagi adikku akan menidurkan anaknya, sebelum menyiapkan makanan untuk anak sulungnya yang belum pulang sekolah. Suami adikku alias adik iparku akan pulang menjelang magrib karena tempat bekerjanya di Pangkalpinang, berbarengan pulangnya dengan kakakku yang nomor dua.  

"Cemane, Bang? Ape kate Ibu?” sambut adikku ketika aku sudah sampai di depan pintu kios.

"Jangan tiduk siang di hotel. Ongkose mahal.”

“Ah, mane ade Ibu mada cem tu! Ngerahul ge Abang ne!”

Jelaslah, mana ada Ibu memberi tahu semacam itu. Jelas, mengarang saja aku ini.

Dia memang tidak tahu, selain menggambar, aku juga sering mengarang cerita, dan sebagian sudah tampil di media sosial. Kulihat muka adikku cemberut seperti belut tengah kalang kabut ingin kentut di tengah keramaian.

“Ha-ha-ha-ha! Ini khusus orang dewasa, Dik.”

Woi, Bang, bangon! Anakku lah due ikok, kurang dewasa ape ulik, hah?!”

"Ha-ha-ha-ha… men lah sepulo baru dewasa.”

Senang kutengok adikku sewot begitu. Anaknya sudah dua, kurang dewasa apa lagi? Apakah kalau sudah sepuluh anaknyalantas baru pantas kusebut dewasa? Ha-ha-ha-ha…

"Abang ne dak kesian aben kek Ibu,” tegur adik bungsuku sambil menggendong anaknya. “Ayah ge lah tue. Tinggel Abang yang lom…”

Seketika aku terdiam. Sebuah teguran yang sangat keras, bahkan jauh lebih keras daripada seluruh tabokan yang pernah kuterima dari Ayah. Abang ini tidak kasihan sama sekali pada Ibu. Ayah juga sudah tua. Tinggal Abang yang belum… menikah!

***  

Pukul 21.30 aku melangkah ke gudang untuk mengambil sebuah tas besar yang pernah kupakai ketika bersekolah di Yogyakarta. Aku akan memakainya lagi. Kebetulan berpapasan dengan Ayah yang baru saja memasang perangkap tikus sejak kucing di rumah semakin rewel alias tidak lagi doyan tikus.

Nek ke mane, ngambik tas tu?”

"Nek ke Jakarta, bisok siang.”

 “Ndok, ngape mendadak bener?”

 "Tadi pagi kawanku dateng, nek ngajak ke Jakarta, mantu gawe je.”

 Ayah tidak menyahut melainkan menatapku dari kepala sampai kaki. Aku tidak mengerti, mengapa tatapan Ayah sampai begitu rupa.

Kemudian Ayah berbalik, melangkah ke luar pintu gudang. Ayah tidak berkata apa-apa. Hal ini berdampak langsung padaku. Aku dihinggapi rasa tidak enak hati, dan merasa serba salah. Aku seolah-olah tengah mengombang-ambingkan perasaan seseorang yang paling berjasa dalam hidupku.

Apakah aku akan pergi lagi meski belum satu tahun aku berada di kampung halaman, ataukah aku menolak ajakan kawanku.

Pikiran ini mengaduk-aduk perasaanku.Orangtuaku selalu berharap anak-anaknya bisa berkumpul lagi di kampung halaman. Tidak perlu khawatir soal tempat tinggal karena orangtuaku memiliki sejumlah lahan di beberapa tempat. Kedua kakakku, aku, dan ketiga adikku sudah mendapat kavlingan. Tinggal pilih. Mau di daerah Gang Enggano, sudah ada lahan seluas 1200 m2. Mau dekat Perumnas Air Ruai, juga ada lahan seluas 2000 m2. Atau, yang dekat Bukit Betung, seluas 1 ha, silakan ambil.

Bagaimana kalau aku pindah ke Jakarta; tinggal di mana? Indekos lagi seperti zaman sekolah di Yogyakarta? Sampai kapan akan indekos, padahal orangtua sudah menyiapkan lahan begitu luas?

Entahlah. Kedatangan kawanku pagi tadi mendadak membangkitkan jiwa rantauku yang diturunkan oleh orangtuaku–Ayah asli Madiun dan Ibu asli Karanganyar Solo. Kalau aku jadi pergi, berarti, mungkin, aku satu-satunya anak yang mewarisi jiwa rantau orangtuaku.

Kupikir lagi, jarak Jakarta-Sungailiat tidaklah jauh. Naik pesawat satu kali saja dengan waktu 45 menit, turun di Bandara Depati Amir yang berjarak 35 km dari rumah atau sekitar 30 menit perjalanan. Tidaklah jauh, apalagi kalau kubandingkan dengan jarak Yogyakarta-Sungailiat. Jadi, bagaimana?

Kuangkat tas besar ke luar gudang. Di beranda samping kubersihkan tas itu dari debu, kotoran cicak dan tikus, dan sarang laba-laba. Tidak lupa, sambil membersihkan tas itu, aku membayangkan situasi Ibukota, yang sekian kali selalu kuhindari dalam peta perantauanku. Kali ini aku akan menaklukkannya. Ya, lihat saja!

Srek! Srek! Srek!

Suara gesekan antara sandal jepit dan ubin abu-abu lantai beranda. Aku menoleh ke aras suara itu. Oh, Ibu datang.

"Ka nek ke mane?”

“Tadi pagi, kawan dateng, ngajakku ke Jakarta, mantu je ngurus gawe je.”

Sebenarnya dengan berat hati aku menyampaikan itu kepada Ibu. Tapi bagaimana lagi, kawanku minta aku membantu dia mengurus pekerjaan dia di Jakarta. Kalau tidak terpaksa, sudah pasti kawanku tidak akan menawarkan itu padaku.

“Hah? Ka lah nek kuer kampung ulik?”

Aku paham, mengapa Ibu terkejut karena aku sudah akan keluar kampung lagi. belum genap satu tahun di rumah dan kampung halaman, aku sudah akan pergi lagi.

Aok. Dak tau ngapelah, Bu. Sekali-sekali nerai Jakarta.”

Ya, tidak tahu mengapalah. Sekali-sekali mencoba Jakarta. Dua kakakku sudah pernah tinggal di sana, dan akhirnya kembali ke kampung karena takdir membawa mereka kembali. Aku belum pernah, dan ketiga adikku tidak akan pernah karena sudah berkeluarga di kampung halaman. Sementara aku, bagaimana? Boleh dong sesekali mencoba hidup di Jakarta?

Lagi-lagi, berat hatiku untuk pergi. Terlebih aku sempat melihat kedua mata Ibu berkaca-kaca, dan nadanya pun agak berat. Lagi-lagi aku mencoba untuk mengambil keputusan yang tidak pernah kurencanakan seumur hidupku.

Anggaplah, semacam sedang berjudi. Apa; berjudi? Aku tidak sedang mencari pekerjaan melainkan langsung disiapkan pekerjaan. Apanya yang patut kusebut “berjudi” alias nasib-nasiban, ‘kan?

Debu dan segala kotoran sudah lenyap dari tas besar. Lampu beranda yang benderang bisa menampakkan kebersihannya. Aku berusaha menegarkan diri untuk berani melangkah ke tempat yang belum pernah kujajaki. Tentunya ini serius. Aku pun harus serius.

“Beres,” kataku sambil mengangkat tas besar itu ke arah lampu beranda.

“Jadi, sembile ge ikak pacak ketemu?”

Oh! Pertanyaan Ibu kembali menyambangi pertimbanganku sebelum aku putuskan untuk melangkah menuju suatu nasib yang entah bagaimana kelak akhirnya.

***

*) bagian lain dalam rencana pribadi untuk sebuah novel “Ombak Asmara Pantai Rambak”. Terima kasih atas kesediaan Pembaca meluangkan waktu untuk menyimak bagian dari calon novel saya ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun