Sekilas saja. Lantas kusingkirkan bayangan itu karena aku mau kembali ke kios di depan rumah. Mungkin sebentar lagi adikku akan menidurkan anaknya, sebelum menyiapkan makanan untuk anak sulungnya yang belum pulang sekolah. Suami adikku alias adik iparku akan pulang menjelang magrib karena tempat bekerjanya di Pangkalpinang, berbarengan pulangnya dengan kakakku yang nomor dua.
"Cemane, Bang? Ape kate Ibu?” sambut adikku ketika aku sudah sampai di depan pintu kios.
"Jangan tiduk siang di hotel. Ongkose mahal.”
“Ah, mane ade Ibu mada cem tu! Ngerahul ge Abang ne!”
Jelaslah, mana ada Ibu memberi tahu semacam itu. Jelas, mengarang saja aku ini.
Dia memang tidak tahu, selain menggambar, aku juga sering mengarang cerita, dan sebagian sudah tampil di media sosial. Kulihat muka adikku cemberut seperti belut tengah kalang kabut ingin kentut di tengah keramaian.
“Ha-ha-ha-ha! Ini khusus orang dewasa, Dik.”
“Woi, Bang, bangon! Anakku lah due ikok, kurang dewasa ape ulik, hah?!”
"Ha-ha-ha-ha… men lah sepulo baru dewasa.”
Senang kutengok adikku sewot begitu. Anaknya sudah dua, kurang dewasa apa lagi? Apakah kalau sudah sepuluh anaknyalantas baru pantas kusebut dewasa? Ha-ha-ha-ha…
"Abang ne dak kesian aben kek Ibu,” tegur adik bungsuku sambil menggendong anaknya. “Ayah ge lah tue. Tinggel Abang yang lom…”