“Aok. Dak tau ngapelah, Bu. Sekali-sekali nerai Jakarta.”
Ya, tidak tahu mengapalah. Sekali-sekali mencoba Jakarta. Dua kakakku sudah pernah tinggal di sana, dan akhirnya kembali ke kampung karena takdir membawa mereka kembali. Aku belum pernah, dan ketiga adikku tidak akan pernah karena sudah berkeluarga di kampung halaman. Sementara aku, bagaimana? Boleh dong sesekali mencoba hidup di Jakarta?
Lagi-lagi, berat hatiku untuk pergi. Terlebih aku sempat melihat kedua mata Ibu berkaca-kaca, dan nadanya pun agak berat. Lagi-lagi aku mencoba untuk mengambil keputusan yang tidak pernah kurencanakan seumur hidupku.
Anggaplah, semacam sedang berjudi. Apa; berjudi? Aku tidak sedang mencari pekerjaan melainkan langsung disiapkan pekerjaan. Apanya yang patut kusebut “berjudi” alias nasib-nasiban, ‘kan?
Debu dan segala kotoran sudah lenyap dari tas besar. Lampu beranda yang benderang bisa menampakkan kebersihannya. Aku berusaha menegarkan diri untuk berani melangkah ke tempat yang belum pernah kujajaki. Tentunya ini serius. Aku pun harus serius.
“Beres,” kataku sambil mengangkat tas besar itu ke arah lampu beranda.
“Jadi, sembile ge ikak pacak ketemu?”
Oh! Pertanyaan Ibu kembali menyambangi pertimbanganku sebelum aku putuskan untuk melangkah menuju suatu nasib yang entah bagaimana kelak akhirnya.
***
*) bagian lain dalam rencana pribadi untuk sebuah novel “Ombak Asmara Pantai Rambak”. Terima kasih atas kesediaan Pembaca meluangkan waktu untuk menyimak bagian dari calon novel saya ini.