"Heh. Dibilangin Kormanitnya kok tidak percaya? Kormanit lho, aku ini. Kormanit. Jabatanku sampai dua bulan ke depan adalah Kormanit*. Ketua kalian semua sekecamatan."
Kelakar Bang Joncik itu memperpanjang tawa Mas Totok, Kak Heni, dan Bang Kris. Sementara aku cuma senyum-senyum melihat tingkah laku mereka.
"Ya ampun! Malah jadi kacau balau begini. Ayo, ayo, kembali serius. Kita 'kan mau menetapkan kesepakatan," komentar Kak Iffa. Terlihat gusar dia. Tampak tidak sabar menghadapi kelakuan kami yang suka hahahihi.
'Sudah ditetapkan, Kak. Tinggal dibacakan saja rangkuman kesepakatannya. 'Kan sudah tak boleh ada protes lagi. Berarti sudah ditetapkan," cerocosku.
"Iya, iya. Tinggal baca rangkuman kesepakatannya. Tapi ini gara-gara kamu, Gus, jadi ramai-ramai begini."
"Yaelah, Kak Iffaaa. Kok aku? Yang celemongan dan cekikikan mereka, lho. Coba diingat-ingat. Aku sejak tadi malah kalem-kalem saja. Duduk diam. Nungguin Kakak baca hasil kesepakatan," sanggahku.
"Tapi kamu nunggunya dengan muka ngeselin. Diam sih, diam. Tapi ngeselin," sahut Kak Iffa. "Itu namanya diam-diam mengintimidasi."
"Heh? Jadi sejak tadi, Kakak terintimidasi oleh aku? Wuih. Luar biasa juga aku ini. Bisa mengintimidasi seorang dokter gigi. Tanpa kata-kata pula. Horeee. Hahahaha!" Otomatis tawaku diikuti oleh yang lain. Termasuk Kak Iffa sendiri.
Kak Heni yang sejak tadi cuma ketawa-ketiwi akhirnya berkata, "Sudah, sudah. Ayo, Fa. Baca saja kesepakatannya. Keburu Asar. Lepas Asar kita mau ketemu Pak Kades, lho. Kemarin sudah janjian 'kan?"
"Iya, iya. Kumulai sekarang. Tapi kalian berhenti tertawa, dong. Biar konsentrasi."
"Woilah. Kalian kenapa sih, tertawa melulu? Seriuslah 'bentar. Yang dimarahin aku, lho. Plis, plis. Tenang dulu, yuk. Bisa tenang, yuk."