Sejak tersadarkan itu aku jadi kehilangan konsentrasi. Ingin acara cepat-cepat selesai. Ingin segera protes ke Kak Iffa. Alhasil, saat acara kelar aku segera mendekatinya.
"Kakak dentist, ini enggak bener. Sumpah. Kita tuh omdo. Omong doang. Ih!" Bisikku tepat di telinga kiri Kak Iffa. Seketika dia menoleh ke arahku. Tentu dengan sorot mata yang tajam mengancam. Menyebabkanku reflek mundur supaya agak menjauhinya.
"Sttt."
"Sumpah, Kak. Kita omdo banget," bisikku lagi.
"Eh! Sttt. Hih." Sekonyong-konyong lenganku dicubit Kak Iffa. Sebelum aku sempat membuka mulut untuk memprotes, Kak Iffa berkata pelan dengan nada mengancam, "Diam kau. Nanti kita bahas di posko."
"Tapi, Kak. Aku sudah banyak dosa. Masak iya, cuma gara-gara program KKN malah nambah pundi-pundi dosa? Membohongi audiens," kataku sambil nyengir. Kali ini malah tidak berbisik.
"Ya ampuuun! Ini bocah. Bisa diam dulu, enggak?!" Cengiranku melebar karena Kak Iffa tampak kaget dengan responsku. Setelah menengok ke kiri dan ke kanan, sepertinya untuk memastikan bahwa jarak kami cukup jauh dari orang-orang, dia melanjutkan omelannya.
"Tenang, Kak. Tak ada orang yang mendengar obrolan kita, kok. Aku juga pahamlah ya, mana yang boleh didengar  khalayak dan mana yang menjadi aib kita. Hehehe ...."
Aku berkomentar seraya ngeloyor pergi. Sudah pasti sambil tertawa-tawa. Aku paham kepanikan Kak Iffa. Kalau sampai terdengar oleh para audiens bisa panjang urusannya.
Apa boleh buat? Apa yang kami lakukan memang tak benar meskipun tak bisa disebut kejahatan. Benar kata Bang Napi. Kejahatan muncul karena adanya kesempatan. Adapun kami, omdo alias jarkoni sebab keterpaksaan. Dipaksa keadaan.
Ngomong-ngomong, segala rupa lauk dan camilan enak-enak yang dibawa Mas Totok ternyata tak pernah kami nikmati. Sepertinya Bu Dusun salah paham. Menganggap itu oleh-oleh dari kami sehingga mungkin dibagikan kepada para kerabat. Sementara Mas Totok menyerahkan kepada Bu Dusun dengan tujuan semua makanan tersebut bisa dinikmati bersama-sama, baik oleh kami maupun keluarga Pak Dusun.