"Ya, aku duduk di depannya dengan segelas kopi yang tinggal ampas dan dingin."
"Kalian berbicara sesuatu saat itu?"
"Tidak---atau mungkin aku tidak ingat."
"Tapi kamu bisa mengingat baju yang dipakai istrimu dan kopi yang sudah hampir habis."
"Hmmm..."
"Tidak perlu dipaksa."
***
Saat Andaru pulang dari kerja, ia menemukan apartemennya lebih rapi dan bersih. Tak ada benda-beda yang berserakan. Semua tersusun rapi. Buku-buku, alat tulis, tempat tidur, dapur, dan sebagainya. Mungkin juga tidak ada debu di lantai.
Kekasih Bayangan masih menempel di sebelah meja makan. Andaru tidak mencium aroma masakan. Tidak mendengar suara minyak panas yang sedang menggoreng tempe atau tahu atau ayam atau apa pun. Dapurnya kosong, bersih, dan rapi. Ia menuju kamar mandi. Bersih. Tak ada siapa pun.
Ia meletakkan tas kerjanya di kamar. Menuju dapur dan menjerang air. Masih dengan baju kantor seperti hari-hari sebelumnya. Ia menuangkan kopi serbuk ke mug, menuangkan air panas ke mug, mengaduk, dan membawanya ke meja makan.
Cahaya matahari menembus gorden apartemennya. Cahaya sore yang mungkin sedang kelelahan di bulan Agustus. Andaru menyesap kopi, berdiri di depan meja, dan terus mengamati Kekasih Bayangan. Tak ada perubahan apa pun. Tak ada yang bergeser. Lukisan itu masih sama, gambarnya pun tidak berubah. Seorang laki-laki berwarna hitam berpelukan dengan perempuan berwarna putih. Hanya tangan perempuan itu saja tergambar di bayangan hitam si lelaki.