Mohon tunggu...
Agnez Mutia
Agnez Mutia Mohon Tunggu... -

cerpenagnez.wordpress.com Membaca dengan hati, menyimak dengan jiwa, memaknai dengan pikiran jernih. Setiap kalimat terungkap adalah warna pelangi kehidupan, air yang mengalir, dan angin yang bersemilir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memiliki Hati yang Kedua

13 Maret 2013   03:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:53 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan masih merintik di balik kaca. Sisi dalamnya sampai mengembun dihembus udara oleh mesin pendingin dari dalam mobil. Alya masih menyandarkan sekujur tubuh lelahnya pada jok kursi. Enggan rasa untuk bergegas bangkit, malah ia menggeliat manja. Sebuah kecupan hangat kemudian mendarat di keningnya.

“Selamat pagi, sayang! Met beraktivitas ya!”

“Kau akan berangkat jam berapa, Bli?”

“Ya seperti biasalah. Jam tujuh kita kan sudah di kantor?”

“Maksudku, jam berapa kau akan berangkat ke Cepu?” Sengaja Alya melempar pertanyaan dengan cara sedikit jahil. Bagus memiringkan badannya. Tangan kekarnya mengelus mesra pipi Alya.

“Nanti malam, dik. Naik Sembrani setengah sembilan. Kenapa? Aku masih di sini, kau sudah merindukanku?” Bagus balas menggoda. Alya menggeliat lagi.

“Gendong…” rengeknya kian manja pada kekasih hatinya itu. Bagus tersenyum. Gegas ia keluar dari mobil dan membukakan pintu bagian sebelahnya. Namun sembari tertawa kecil ternyata Alya langsung melompat turun.

“Makasii… udah, ga usah. Khawatir nanti ada yang lihat,”

“Baiklah. Aku akan setia menunggu akan hari itu,”

“Hari itu apa?”

“Sudahlah. Ini pukul empat tiga puluh. Masuk sana! Cepat mandi. Sampai nanti di kantor ya,”

“Kau mau aku bawakan sarapan?”

“Tentu! Apapun yang  kau masak aku selalu suka!” Bagus tersenyum lagi sambil bergegas masuk ke dalam cabin mobilnya lalu melajukannya kencang.

Sudah dalam hitungan tahunan Alya dan Bagus  bekerja bersama dalam satu lingkup jasa pengelolaan data migas. Bagus, Petroleum Engineer di usia kepala tiga rupa-rupanya telah menyematkan  panah asmara dari belahan jiwa terdalamnya tepat pada relung ruang hati Alya, si Operator Analis Data IT. Adegan drama bertema cinta lokasi bersemi beralur lugu dalam keseharian. Hal yang tentunya tak ayal mengundang gossip di kantor. Tak heran jika Luna dkk kini merangkapkan pekerjaan rutin mereka selain sebagai operator sekaligus sebagai tim investigasi yang giat berburu info ter-update ‘ada-apa’-nya antara Alya dan Bagus, biar terlihat macam tayangan gossip selebriti yang marak di televisi.

“Apa salahnya? Aku hanya membalas kebaikannya. Dia sudah banyak membimbing aku selama aku bekerja di sini,” Kilah Alya suatu hari ketika Luna ‘keukeuh’ ingin mengkonfirmasi kejelasan hubungan dua insan yang terlibat skandal jalin cinta tanpa restu tersebut.

“Udah deh, Mbak Al. Kita semua maklum kok. Cinta bisa bisa bersemi di mana saja bagai rumput liar di musim penghujan. Yaa… itung-itung sekadar hiburan selagi jauh dari suami. Asal patuhi rambu-rambu lalu lintasnya ajaaa…”

“Lun, kamu ngomong apa yo..? Aku sama Mas Bagus berteman baik. Sama seperti juga halnya dia bersikap baik pada kalian semua,”

“Iyaa siih Mbak, cuma…. beda kan baiknya  Mas Bagus sama kita dengan baiknya Mas Bagus sama Mbak Alya, istimewaaa…!” Timpal Reno.

“Setelah kita berhasil mengupas tuntas apa aja yang selama ini tersurat dalam BB Mbak Al, kali ini….”

“Emang isi BB nya pa’aan aja?”

“Aaah elo sih Ren, makanya lo pake BB juga donk! Hahaha… ya itulah… kata-kata mesra dari statusnya Mbak Al. Begini nih: Bagian tersulit dalam hidupku bukanlah kenyataan yang tidak memungkinkan menyatukan cinta kita dalam ikatan, melainkan momen mengantarmu untuk berpisah”

“Itu kan kata-kata buat suamiku. Maklumlah pasangan LDR,” bantah Alya.

“Oow ya? Terus kalau begitu yang ini apa donk?” Luna memutar kursi berodanya dan menayangkan sebuah gambar berformat jpeg di PC-nya. Sontak semua berkerumun di depan PC Luna.

“Hah? Gila! Serius tuh?!” Reno melotot. Nania, Risti, Yoda, dan Wahyu semua mengangakan mulut memandang sebuah foto terpampang di PC Luna. Seorang lelaki sedang berpangkuan dengan seorang wanita, dalam temaram cahaya, berlatar belakang kursi dan meja balok-balok kayu dan bambu. Helai-helai daun dan ranting tanaman tampak sedikit menghalangi pengambilan gambar obyek dari kamera digital.

“Ehmm… waktu aku ambil foto ini, lokasinya ada di sebuah coffee shop. Lebih tepatnya di Corner Coffee Shop. Tapi pliss yaa kalian jangan langsung men-judge, bisa jadi foto ini cuma …cuma lho yaa… cuma mirip Mbak Alya dan Mas Bagus,”

Semula Alya cuek dan lebih memilih menikmati alunan musik dari mp3 player-nya melalui headset, namun mau tak mau terpancing umpan Luna. Ia pun beranjak dan bergerak mendekati meja Luna. Sama seperti lainnya, Alya terperangah.

Apa??? Nggak Mungkin!!!

Bagaimana Luna bisa tahu kalau ia dan Bagus sering meluangkan waktu di Corner Coffee Shop sepulang jam kerja?

Reno dan kawan-kawan kini terdiam. Menunggu respon apakah yang sekiranya bakal terpantulkan dari Alya. Geming, Alya kembali ke kursinya, melanjutkan pekerjaan. Bisik-bisik terasa makin berisik di telinganya kini. Tak kuasa menahan luapan emosi, Alya meninggalkan ruangan. Semua saling bertatap bingung.

“Lun, lu kok bisa dapet tuh foto? Emang beneran ya? ck…ck..ck sumpeh mana sangka gw sama kelakuan Alya begitu? Secara dia kan selama ini mendapat gelar istri sholeha,”

“Heh! Mbak Rin, istri sholeha dari Hongkong? Udah basi kali gelar itu buat dia. Nih buktinya… fakta cyiin…faktaaa berbicara! Siapa dulu donk paparazzi-nya tim Rempong Investigasi?”

“Hah! Masak sih begitu?” Bagus masih berdiri menyandar pada bilah tiang. Ia sedikit membungkukkan badan untuk mendengar suara Alya. Desing dan gemuruh di Stasiun Kereta Api Kejaksan malam itu membuat samar suara orang terdengar.

“Sayang, kenapa tadi pagi kamu nggak bilang ke aku? Haduuh! Kenapa juga seharian ini aku terlalu sibuk mengurusi analisa data perawatan sumur sampai aku tak sempat menyambangi ruangan kalian seharian ini?”

“Nggak tau lah Bli. Sepertinya semakin hari jadi semakin ramai aja. Entahlah, mungkin suatu hari nanti juga aku akan resign. Aku dah nggak kerasan dengan suasana nggak enak seperti itu,”

Bagus tak bersuara. Ia hanya menarik pelan kepala Alya yang hanya setinggi bidang dadanya, merengkuhkan kedalam hangatnya.

———-

Usai membasuh muka di wastafel toilet pria, Wahyu bergegas menuruni anak tangga menuju lantai dasar menikung di koridor dan turun ke kantin. Begitu ia tiba di ambang pintu Wahyu berpapasan dengan Alya. Dia baru saja menuntaskan aktivitas makan siang di kantin. Wahyu hendak menyapanya dengan seulas senyum ke arah Alya,

“Eh, Mbak Alya….” Wahyu mencoba senyum. Namun sosok wanita muda, bermimik serius sekali di dekatnya ini nyaris tanpa ekspresi.

Hmmff garing! Alya memang balas menatap Wahyu tapi tak membalas senyumnya. Tatapan Wahyu membeku. Sosok di hadapannya ini memang benar. Benar-benar tanpa ekspresi! Padahal ada yang ingin sekali ia sampaikan pada sosok ringkih berbalut jilbab itu. Seorang wanita yang dalam pandangannya seajuh ini selalu tekun dengan tugas-tugas kesehariannya. Hampir tak pernah terdengar suara, apalagi canda tawanya seperti Tim Rempong Investigasi. Alya begitu serius dan sangat pendiam. Hanya buka suara bilamana Rempong-ers mengajaknya ngobrol. Sorot matanya terlihat teduh di balik lensa kacamatanya. Namun wajahnya selalu begitu, tanpa ekspresi. Memang kelebihannya Alya terlihat sisi wanita sholehanya. Sama sekali Wahyu tak habis pikir apa iya ada ‘sesuatu’ antara Alya dan Bagus? Kalau iya, apa yang membuat Bagus sampai tergila-gila pada Alya yang notabene istri orang? Apa karena status Long Distance Relationship Alya dengan suaminya? Kenapa Bagus tidak memilih Risti aja yang jelas-jelas si gadis lajang, pintar lagi periang? Ah, jaman memang semakin gila!

Seminggu tanpa Bagus. Rempong-ers mungkin masih bergerilya memata-matai kelanjutan kisah dua sejoli tanpa status tersebut di ruang mereka yang kini terentang jarak dan waktu. Setiap kali Bagus ditugaskan turun ke field bisa memakan waktu berbulan lamanya untuk bisa kembali lagi ke basecamp-nya di perusahaan Pengelolaan Data Migas di Cirebon.

“Lun, kalo TTM tuh nama sumur apa ya?” Suara Reno memecah keheningan.

“TTM? Teman tapi mesra, maksud lo?” Jawab Luna sambil tertawa.

“Jeehh serius, gue nanya sumur TTM,”

“Tegal Taman, Ren. Pada ngasal aja siih kalian! Haha….” Pungkas Irin.

“Yeee…kan kira’in gitu Teman Tapi Mesrah… gitu loh Mbak Rin,” Luna tak mau kalah argumen sambil matanya mengedip-ngedip memberi sinyal jahil.

“Hey, pagi-pagi dah pada ngegosip aja,” tambah Risti.

“Iya Ris, habis…. Mestinya kan kamu yang jadi topik utama infotainment kita, itu baru wajar, lah ini…. Ibu muda kesepian hehe…”

“Kalo single sama single, infotainment-nya gak rame donk, Lun,”

“Luna! Reno!” Kali ini suara Alya menyentak.

Waktu telah bergulir satu jam dari pukul tujuh. Wahyu meninggalkan ruangan, menuju mushola, sebagaimana kebiasaannya untuk menunaikan ibadah shalat dhuha. Tak diduga Alya mengikuti aktivitas ritualnya. Sama seperti dalam dua hari berturut-turut. Kali ini Wahyu enggan menyapanya. Kapok dicuekin dengan tatapan lempengnya.

“Assalammualaikum, Mas Wahyu,”

Suara lembut itu menyapanya kala Wahyu baru saja selesai dan melipat sajadah. Ia menoleh ke belakang. “Wa’alaikum salam, Mbak….” Wahyu menatapnya bingung. Tumben!

“Dah sarapan mbak?” Tanya Wahyu ketika mereka meninggalkan mushola. “Aku mo ke pantry dulu nih,” Pertanyaan Wahyu tak dijawab. Namun ternyata Alya menyusul masuk ke pantry.

Di pantry Wahyu menyeduh kopi instan dan Alya membuat teh hangat. Keheningan masih melanda. Hingga tiba-tiba keduanya serentak hendak membuka percakapan Alya tersipu, Wahyu pun tersenyum.

“Ya udah, Mbak Alya duluan,”

“Mas Wahyu tadi mo ngomong apa?” Alya tampak masih malu. Kali ini Wahyu menatap mata teduh itu. Tak lagi seperti sebelumnya. Alya lebih terlihat akrab.

“Aku mo nawarin sarapan,” Wahyu mengeluarkan bungkusan  sebungkus nasi kuning, Ternyata Alya juga membawa yang sama.

“Hehe… dari tadi ternyata memang niatnya bareng ya?”

“Biasanya nggak pernah keliatan sarapan di kantor, mas?

“Iya, aku baru aja pindah kos-an, barengan sama Dino. Agak jauh dari kantor, makanya ga sempet deh sarapan dulu di kos,”

Kembali hening.

“Mas Wahyu, boleh nggak aku cerita?”

“Oh, boleh banget. Cerita apa?”

“Tapi tolong jangan cerita lagi ke teman-teman lain, apalagi sampai terdengar Tim Rempong,”

“Mbak Al bebas cerita apa aja sama aku, dijamin halal dan aman. Janji,”

“Mas Wahyu tau kan gosip yang lagi hangat saat ini? Buatku sebenernya udah nggak betah dengan semua itu,”

Wahyu tetap menyimak. Alya melanjutkan.

“Aku sih, terus terang aja yah… selama ini aku ngerasa nyaman ngobrol sama Mas Bagus, nyambung lah. Terus dia juga nggak pernah ceritakan lagi ke siapapun. Begitu juga sebaliknya. Apapun yang kami obrolin berdua nggak pernah mengarah ke gosip,”

“Mbak Al, menurutku, kedekatan kalian itu sendiri yang mengundang gosip,”

“Ya aku tau. Tapi suer deh! Yang kami lakukan cuma sebatas curhat-curhatan. Nggak sampai lebih dalam. Bisa jadi itu pandangan teman-teman aja, suka ngartiin beda-beda. Padahal kalian semua tau kalau aku dah punya suami dan anak. Sementara dari sisi dia juga, dia kan beda keyakinan. Jadi mana mungkin kami punya hubungan khusus sebagaimana gosip teman-teman. Adapun kalau kita keliatan berdekatan bukan berarti mesra beneran kok, Bagus emang suka gitu becandanya. Ngaku-ngakuin di depan orang aku sebagai istrinya lah, sekalian aja suka aku bumbuin biar pada rame. Sekarang atau nanti kalian tetap memandang kami sebagai dua sejoli tanpa status yaa… terserah! Aku berani pastikan hatiku ya cuma buat keluarga!” Tandas Alya dengan nada meninggi.

“Oooh begitu.”

Alya segera melipat kertas pembungkus nasi kuning yang tak ia habiskan. Lalu membuangnya ke tempat sampah. Tangannya meraih mug miliknya. Berlalu dari pantry tanpa sepatah kata.

Sehari, dua hari hingga tiga hari berikutnya kebisuan yang tanpa diskenariokan melanda mereka berdua. Masih untung tak ada yang menyadari karena memang biasanya pun Alya tak pernah terlihat akrab dengan Wahyu.

Hingga sore….

“Mbak Al, lembur ya hari ini?”

“Iya Mbak Rin, sampe jam tujuh,”

“Terus…sama siapa? Oh, ada Mas Wahyu. Lembur juga Mas?”

“Aku sih nggak Mbak Rin, cuma lagi maintain software aja. Paling sampai jam enam,”

“O.K. titip Mbak Al ya Mas… hehehe…” Irin berlalu pulang. Teman-teman lain pun sudah bubar sejak jam kerja berakhir setengah jam lalu. Hujan mulai turun dan makin deras. Suara petir pun mulai memekakkan telinga. Agaknya sia-sia belaka Alya dan Wahyu terperangkap oleh derasnya hujan sore itu, nyatanya tak membuat seorang pun dari mereka memulai percakapan. Wahyu melirik jam tangannya.

“Mbak Al, sibuk nggak? Ada yang ingin aku sampaikan,”

Alya menoleh.

“Tentang foto itu. Semua nggak bener, Mbak Al. Aku paksa minta copy foto itu dari Luna. Setelah kuteliti ternyata itu foto palsu. Hasil editing Photoshop. Bukan foto asli Mbak Al dan Mas Bagus. Itu foto orang lain,”

“Percuma aja, mas. Mau itu asli atau palsu. Semua pasti udah semakin terkontaminasi pikirannya. Dugaan mereka ke aku pasti semakin negatif. Udah deh, lagian aku nggak lama lagi di sini. Mau berhenti kerja dari sini.  Aku mau pindah ke Bandung,”

“Oh, begitu? Hmm…emang kapan rencananya Mbak Al mau pindah?”

“Sekitar enam bulan lagi,”

Deg. Terdiam. Wahyu merasakan dingin menjalar sekujur tubuhnya. Aliran darahnya dirasa membeku sesaat. Jantungnya seolah terhenti beberapa detik.

“Mas liat sendiri kan? Kok ya tega Luna bikin foto palsu begitu, cuma buat update bahan gossip murahan. Tak bisa kupungkiri mas, kadang aku ngerasa ada kalanya membutuhkan seseorang untuk diajak berbagi cerita. Dan entah kenapa pilihan hatiku jatuh pada Mas Bagus untuk membaginya,”

“Mbak Al, kalau boleh aku saranin, kedekatan mbak dengan Mas Bagus… ya walaupun sebatas curhat-curhatan, menurutku kurang etis juga lho. Mbak Al dah berumah tangga, apapun yang terjadi dalam rumah tangga mbak nggak sepantasnya mbak ceritakan lagi pada orang lain. Apalagi kalau mbak ceritakan kepada laki-laki lain yang bukan muhrim. Karena, dari curhat-curhatan bisa jadi timbul rasa iba, dari rasa iba jadi rasa simpatik, dari simpatik lalu tumbuh rasa cinta. Wah, kalau sampai begitu kan ujung-ujungnya jadi mudharat. Sekali lagi maaf lho ya Mbak Al, aku nggak bermaksud menggurui. Ya, semuanya kembali ke Mbak Al. Memang, terkadang kita membutuhkan seseorang untuk berbagi isi kotak Pandora yang terletak jauh di dalam. Tapi sebagai orang dewasa, apalagi sudah memiliki pasangan, hendaknya lebih bijak untuk menempatkan segala isi hati kita,”

Hening lagi. Suara adzan berkumandang dari Masjid yang berjarak lima puluh meter dari gedung kantor mereka.

“Dah Maghrib. Shalat yuk Mbak Al,”

Tanpa sepatah kata Alya mengikuti Wahyu, mengambil wudhu di tempat yang berbeda lalu menuju mushola. Mereka berdua shalat berjama’ah.

———-

Ding!

Tak ada yang tahu kalau kini Alya dan Wahyu sering chat via intranet messaging dari PC  mereka.

|aku jd kepingin ganti aja nopeku atau ganti pin BBM-ku|

|mending buang aja hapenya, Mbak |

|yeee! Enak aja. Mahal2 dibeliin suamiku |

|Nah, tuh kan? Dibeliinnya aj sm suami, masak dipake buat yang lain? O ya, aku pnya satu lagu yg pas buat mbak al|

|apa tuh? Whuaaahhh… diem2 mas yu bikin lagu ya?|

|bukan aku, ini lagu keknya cocok buat mbak al, nih aku kirim, di save ya..|

Alya menerima kiriman file format mp3 berjudul “Yang Kedua” Vidi Aldiano. Lekas ia kenakan headsetnya.

…. Mana mungkin ku miliki hati yang kedua

aku hanya punya oh satu rongga dada

mana mungkin diriku menduakan cintamu

hanya satu cinta dalam satu hati

hanya satu cinta dalam satu hati yang bisa ku jaga…

|pa’an nih? nyindir aku ya? hehe…|

|bukan maxut nyindir mbak Al, tp cb deh simak baik2. Resapi lagu itu seolah mbak Al mempersembahkannya buat suami tercinta. Otreh?|

|hohoho…. Iya, lagunya enak loh, manis…. makasi ya, mas yu|

|gmn kbr nya mas bagus?|

|napa mas yu? cemburu ya? hehe…kemarin malam aku bbm dia. bilang k dia, spy kita agak merenggang, mematuhi batasan2 sebatas rekan kerja aja, komunikasi hanya di jam kerja aja,  atw aku akan memperlakukan dia seolah gak pernah saling kenal|

|hueeee…. muanteb tenan mbak ayu ini. saluuuuuuttt 3x. pokoke aku padamu mbak! *pingin jingkrak2*|

|iya, itu jg kan spt saran dari mas yu yg waktu kita abs shalat maghrib itu loh. Thx ya mas, aku skrng merasa bersyukur merasa spt memiliki seorng kakak … seperti mas yu. Ayo cepetan sana jingkrak2nya! hahaha|

|iya, aku jg seneng banget punya adik nakal kyk mbak Al, eh masak ada kakak manggil adiknya ‘mbak’ hahahaha….|

|yo ‘nda pa pa toh mas. klo skrng mas yu panggil aku ‘dik’. biar Rempong-ers jg ga nambah2 in gosip baru|

|ya…ya…ya… tp kita ttp bgini aja di dpn mereka. Kita semua bs rentan gosip lho mbak, palagi buat mbak Al. kan kasian mbak klo dibilang dgn sebutan yg jelek2. pokoknya aku pgn liat mbak Al bahagia bersama suami n anak mbak|

|Mas Hyu, tenkyu yaah…4 everything|

Ding!

Malam semakin melarut dan pekat. Hujan tak turun malam ini. Sayang, mega belum jua bertebar bintang. Usai menemani Riyadh belajar menulis dan menggambar hingga tidurnya, Alya kembali ke kamarnya, menarik selimut di atas kasurnya yang empuk setelah ia menyetel alarm pada ponsel. Insya Allah, sepertiga malam nanti ia akan lebih membagi isi kotak pandoranya pada Yang Maha Mendengar, ingin sekujur diri sekaligus jiwa yang sudah bersimbah jelaga dosa dan khilaf ini bersimpuh di hadapan-Nya. Bertobat. Memantapkan diri kelak tentang kepada siapa yang pantas untuk ia bagi hatinya.

~end~

(Mutz)

03 Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun