“Yeee…kan kira’in gitu Teman Tapi Mesrah… gitu loh Mbak Rin,” Luna tak mau kalah argumen sambil matanya mengedip-ngedip memberi sinyal jahil.
“Hey, pagi-pagi dah pada ngegosip aja,” tambah Risti.
“Iya Ris, habis…. Mestinya kan kamu yang jadi topik utama infotainment kita, itu baru wajar, lah ini…. Ibu muda kesepian hehe…”
“Kalo single sama single, infotainment-nya gak rame donk, Lun,”
“Luna! Reno!” Kali ini suara Alya menyentak.
Waktu telah bergulir satu jam dari pukul tujuh. Wahyu meninggalkan ruangan, menuju mushola, sebagaimana kebiasaannya untuk menunaikan ibadah shalat dhuha. Tak diduga Alya mengikuti aktivitas ritualnya. Sama seperti dalam dua hari berturut-turut. Kali ini Wahyu enggan menyapanya. Kapok dicuekin dengan tatapan lempengnya.
“Assalammualaikum, Mas Wahyu,”
Suara lembut itu menyapanya kala Wahyu baru saja selesai dan melipat sajadah. Ia menoleh ke belakang. “Wa’alaikum salam, Mbak….” Wahyu menatapnya bingung. Tumben!
“Dah sarapan mbak?” Tanya Wahyu ketika mereka meninggalkan mushola. “Aku mo ke pantry dulu nih,” Pertanyaan Wahyu tak dijawab. Namun ternyata Alya menyusul masuk ke pantry.
Di pantry Wahyu menyeduh kopi instan dan Alya membuat teh hangat. Keheningan masih melanda. Hingga tiba-tiba keduanya serentak hendak membuka percakapan Alya tersipu, Wahyu pun tersenyum.
“Ya udah, Mbak Alya duluan,”