Wahyu tetap menyimak. Alya melanjutkan.
“Aku sih, terus terang aja yah… selama ini aku ngerasa nyaman ngobrol sama Mas Bagus, nyambung lah. Terus dia juga nggak pernah ceritakan lagi ke siapapun. Begitu juga sebaliknya. Apapun yang kami obrolin berdua nggak pernah mengarah ke gosip,”
“Mbak Al, menurutku, kedekatan kalian itu sendiri yang mengundang gosip,”
“Ya aku tau. Tapi suer deh! Yang kami lakukan cuma sebatas curhat-curhatan. Nggak sampai lebih dalam. Bisa jadi itu pandangan teman-teman aja, suka ngartiin beda-beda. Padahal kalian semua tau kalau aku dah punya suami dan anak. Sementara dari sisi dia juga, dia kan beda keyakinan. Jadi mana mungkin kami punya hubungan khusus sebagaimana gosip teman-teman. Adapun kalau kita keliatan berdekatan bukan berarti mesra beneran kok, Bagus emang suka gitu becandanya. Ngaku-ngakuin di depan orang aku sebagai istrinya lah, sekalian aja suka aku bumbuin biar pada rame. Sekarang atau nanti kalian tetap memandang kami sebagai dua sejoli tanpa status yaa… terserah! Aku berani pastikan hatiku ya cuma buat keluarga!” Tandas Alya dengan nada meninggi.
“Oooh begitu.”
Alya segera melipat kertas pembungkus nasi kuning yang tak ia habiskan. Lalu membuangnya ke tempat sampah. Tangannya meraih mug miliknya. Berlalu dari pantry tanpa sepatah kata.
Sehari, dua hari hingga tiga hari berikutnya kebisuan yang tanpa diskenariokan melanda mereka berdua. Masih untung tak ada yang menyadari karena memang biasanya pun Alya tak pernah terlihat akrab dengan Wahyu.
Hingga sore….
“Mbak Al, lembur ya hari ini?”
“Iya Mbak Rin, sampe jam tujuh,”
“Terus…sama siapa? Oh, ada Mas Wahyu. Lembur juga Mas?”