“Ah…leganya. Perasaan ini memenuhi ruang dadaku.” Baru pertama kali ini aku melihat Ayah setuju dengan pendapat Ibu dan Ibu yang dengan senangnya mau membelaku. Tapi aku bersyukur, dengan ini aku bisa memperpanjang masa identitasku menjadi perempuan. Sampai beliau sadar bahwa anak perempuan juga punya kekuatan yang dapat melebihi anak laki-laki.
♣♣♣
Di Indonesia, sekarang aku menetap. Aku tinggal di kota kelahiran Ibuku~Bandung. Aku bersekolah di International Lab School Bandung. Disana aku berteman akrab dengan pemuda yang bernama James. Dia anak Duta Besar Amerika, walaupun anak blasteran Amerika-Indonesia. James punya masalah dengan bahasa indonesia, ia tidak bisa mengucapkan lafal bahasa indonesia dengan benar. Aku membantunya, itulah awal pertemanan kami yang semakin akrab. James mengenalku sebagai teman laki-lakinya, aku sering menginap dirumahnya. Apalagi kalau Ibu Dian memberikan tugas bahasa indonesia banyak sekali, aku bisa seminggu lebih disana. Orangtuaku biasa saja apalagi Ayahku, beliau tidak pernah merasa cemas kemanapun aku pergi dan kapanpun aku pulang. Bahkan beliau setuju dengan semua yang kulakukan bila itu berkaitan dengan kelaki-lakianku. James tidak tinggal bersama orangtuanya, ia tinggal di apartemen, sedangkan orangtuanya di Jakarta.
“James…kamu lagi ngapain?”
“A-ku sen-dang ba-ca bu-ku te-tang ba-ha-sa in-do ne-sia.”
“Oh…tapi kamu salah dalam mengeja. Pada huruf "sedang” kamu tambahkan “n” sedangkan pada huruf “tentang” kamu hilangkan “n” nya. Hal sekecil itu jangan kamu anggap sepele, karena orang akan bingung mengartikannya. Gimana James, udah mengerti sekarang?”
“Oke deh…”
Setelah 2 bulan belajar, akhirnya James bisa melafalkan bahasa indonesia dengan benar. Aku bangga pada keberhasilannya, ternyata ia cepat belajar mengenal sesuatu yang baru.
♣♣♣
Satu tahun sudah aku berteman akrab dengan James, sekarang umurku 17 tahun. Aku khawatir tanda-tanda kewanitaanku muncul, seperti buah dada yang semakin terlihat dan datangnya tamu bulanan pada wanita. Sampai suatu hari, hal itu terjadi saat aku masih di lingkungan sekolah. Aku datang bulan untuk yang pertama kali. Aku cemas, akhirnya tanpa banyak berpikir aku menelpon ibu.
“Hallo, bu…ni Adit.”