Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pesan dari Mandalika

15 Januari 2021   17:07 Diperbarui: 15 Januari 2021   17:36 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada hujan yang turun hari ini, padahal mendung telah bergelayut dari pagi. Aku yang terlampau asik menikmati hari di depan laptop pun terkejut saat menengok ponsel yang bergetar. Aku lihat, wajahmu terpampang nyata di layar yang menandakan sebuah panggilan video. Sempat mematung beberapa detik, aku pun memutuskan untuk membiarkan panggilanmu. Bukan berniat jahat, tapi aku bingung, ada apa?

Kita sudah sepakat untuk tidak berkomunikasi via Whatsapp dari enam bulan lalu, tepatnya setelah wisudamu. Bahkan, kita sama-sama saling memblokir karena ya sudah, tidak ada lagi hal penting yang harus kita bicarakan dengan serius. 

Toh, meskipun begitu, kita masih bisa untuk saling memastikan kondisi yang baik via cerita yang diunggah melalui Instagram masing-masing. Iya, sesekali kita masih berlempar ledekan walau aku telah berubah menjadi pihak yang tak segan untuk memutus obrolan. 

Persis seperti kamu di tempo dulu, kan? Kamu juga memutus diskusi saat aku sedang butuh penguatan darimu yang kebetulan sempat menggenapi hari-hariku di masa itu. 

Bahkan, di saat aku kebingungan mencarimu, kamu sengaja menghilang dan memohon pada seluruh karibmu untuk tidak memberitahukan di mana keberadaanmu.

Sekarang, ada apa?

Kenapa kamu tiba-tiba menggunakan fitur panggilan video yang disediakan oleh Instagram untuk menghubungiku?

Rindu? Haha, tidak. Aku tidak yakin jika rindu menjadi alasanmu untuk menghubungiku lagi dan, ya, kamu memanggil lagi.

"Hai.." sapa canggungmu mengawali obrolan yang akhirnya aku terima.

"Ya?" kataku yang jujur bingung harus berkata apa.

"Kekmana kabarmu itu?" tanyamu lagi dengan intonasi khas dan senyum 3/4 yang menjadi cirimu.

"Baik, kok. Ada apa, Bang?" jawabku lagi.

Sebagaimana template formalitas yang pasti digunakan oleh dua orang saat bertanya kabar, kita pun larut dalam obrolan yang berputar-putar di pembahasan kondisi dan kesibukan saat ini. Aku bercerita soal kesibukanku dan kamu pun demikian. 

Kaku, kita ibarat dua orang asing yang harus kembali beradaptasi agar bisa menghanyutkan diri dalam obrolan yang hangat. Beda, memang kita sudah berada di situasi yang berbeda dan menurutku, kekakuan ini sangat lumrah terjadi. Apalagi, kamu dan aku adalah dua orang yang sama-sama berkepala batu. Keras!

***

"Jadi, dengan siapa kau sekarang?" celetukmu mengagetkanku yang sedang berjalan menuju kasur untuk merebah.

"Sekarang? Sendiri lah, kan di kos aku, Bang!" jawabku yang sengaja berpura-pura bodoh.

"Aihhhhhh, bukan itulah maksudku, siapa cowokmu sekarang?" straight on point, pertanyaanmu benar-benar klasik.

"Apa urusan Abang tanya soal itu? Haha," ketusku bercampur sinis.

"Nggak ada urusanku, cuma pengen tahu dan memastikan aja kalau kau nggak akan salah lagi," jawabmu yang nampak sedang berjalan entah di mana.

"Gimana, gimana? Nggak akan salah lagi? Berarti pas samamu, salah juganya aku? Hahahaha," kataku yang mengikuti logatnya.

"Bisa dibilang begitu, kan? Aku pun sadar, nggak pantas aku buatmu, tapi ya gimana lagi? Udah terlanjur juganya, hahahaha," kelakarmu.

Kini, kita sama-sama menertawakan kisah yang sempat menjadikanmu dan aku sebagai "kita" yang satu dalam semu.

"Bang, bolehnya aku cerita?" kataku yang entah kenapa terdorong untuk mendongeng.

"Boleh kali, rindu awak dengarin cerita-ceritamu itu loh!" responsmu yang penuh antusias.

Jujur, ini kali pertama aku melihat reaksi sumringahmu saat aku memohon izin untuk cerita. Dulu saat kita masih terikat dalam status pacaran, mana pernah kamu benar-benar bersedia untuk mendengarkanku? Bahkan ketika aku memohon semangat, kamu malah mematahkan. Untungnya kini kita sudah berpisah, jadi aku tidak harus menelan pahitnya pil yang diproduksi oleh sikap dan egomu tiap hari.

***

Aku menghela napas cukup panjang dan menggulingkan badan sebelum memulai cerita. Di waktu yang bersamaan, aku melihatmu duduk di sebuah tempat dengan latar belakang yang indah dan aku tidak tahu di mana itu.

"Aku mau pergi ke Australi, Bang. Akhir tahun ini, aku lanjut di sana.." bukaku.

"Seriusnya? Kuliah?" terperanjat dengan penuh kejut, kamu pun menanyakan kejelasan.

"Iya, Bang. Alhamdulillah, aku udah keterima di sana," jelasku tenang.

"Puji Tuhan, bangga awak dengarnya. You deserve it better, i'm so proud of you!" katamu dengan mata berkaca. Terharu, baru kali ini aku melihat matamu berkaca haru karenaku.

"Tumben kali reaksimu sepositif ini? Kaget aku, hehe," celetukku heran bercampur senang.

"Iya, maaf ya. Seriuslah, maafin aku yang dulu nggak pernah bisa apresiasi pencapaianmu. Dulu, aku malah seringnya bikin kau pikiran, nangis dan nggak pernah mau dengarin cerita-ceritamu itu. Sorry lah, ya!" katamu yang terhiasi sesal.

"Iya, ndakpapa. Kan, yang udah ya udah, hehe. Mohon doanya aja lah, Bang!" tenangku.

"Pasti! Namamu selalu aku bawa dalam doa kok, tapi udah beda doanya, hehe," tuturmu yang kini mengubah ekspresi menjadi agak malu.

"Beda gimana?" tanyaku yang penasaran.

"Dulu, aku bawa namamu dalam doa agar Tuhan jadikan kau orang yang kuat samaku. Orang yang bisa bawa aku ke jalan yang lebih baik dan egoisnya, aku juga berharap kau bisa samaku hingga nikah, hahaha. Tapi, sekarang aku sadar kok, doaku keliru."

"Keliru?"

"Iya, aku mendikte Tuhan dengan egois, tapi aku sendiri tidak mengupayakan yang terbaik untukmu. Ingat kau, kan? Kekmana aku waktu marah dan maki-maki kau di depan kos? Sampai aku pun lempar rokok ke kau, hehe."

"Ingat, dua minggu lagi tepat setahun loh peristiwa itu, Bang! Hahaha, abis itu besoknya aku muter nyari Abang dan akhirnya kita saling ghosting, hahaha."

"Maaf lah ya, sumpah aku nyesal kali kalau ingat itu. Rasanya aku ingin peluk kau dan minta maaf langsung, loh! Eh, tapi udah nggak bisa lagi aku peluk kau, ya? Bukan muhrim kita, haha,"

"Hahaha, emang kita pernah jadi muhrim, Bang? Sansss, udah dimaafin, Bang. Ndakpapa, udah kejadian juga, kan? Aku malah senang dengar Abang bisa berpikiran gini sekarang, makin dewasa aja nampaknya, ya! Abis makan apa kau, Bang?"

"Makan oseng ati, kek menu kesukaanmu, kan? Hahaha," godamu.

"Dih! Bisa gitu, ya? Haha,"

Hanyut, kini aku dan kamu hanyut dalam kenangan yang telah bisa diterima dengan senyum. Dulu, amarah dan dendam menguasai diri kita yang belum sama-sama sanggup biasa saja. Bahkan hingga sekarang pun, terkadang aku teringat laku kasarmu dengan dendam yang menggebu. Namun, yang sudah ya udah. Kita tidak bisa memutar waktu untuk kembali di Januari tahun lalu karena kita sudah hidup di tahun yang berbeda.

***

"Oh iya, ada satu hal yang betul-betul mau aku tanyakan samamu," serius, kini rautmu kembali serius.

"Apa, Bang?" tanyaku yang kembali datar.

"Pertanyaan awalku, dengan siapa kau sekarang?" selidikmu lagi.

"Sendiri. Aku sendiri, Bang. Nggak ada aku hallet, nggak ada aku gebetan, tapi.." belum selesai aku bicara, kamu pun menyela.

"Tapi?"

"Ada sih satu kawan yang menurutku dekat, tapi nggak tahu dia anggap aku dekat juga atau nggak. But for me, dia kek salah satu support system-ku saat ini," jelasku.

"Gebetan, ya?"

"Enggak, Bang. Astaga, udah aku anggap kek kakakku sendiri,"

"Yakin cuma kakak?"

"Yes, no more!"

"Who is he? Cowok yang dulu samamu pas kita jumpa di HG?" tebakmu dengan penuh curiga.

"No, bukan dia. Aku udah nggak ada hubungan samanya, Bang. Aku..." lagi-lagi aku belum selesai bicara dan kamu pun menyela.

"Apa?"

"Aku nggak mau bahas dia lagi, cukup."

"Why?"

"I've told you, right?"

"Oke, sorry! But, siapa cowok yang lagi dekat samamu sekarang? Aku tanya begini cuma pengen mastiin aja, kau nggak akan jadi cewek yang banyak beban pikiran lagi. Nggak relanya aku kalau kau harus kebebani hal yang sampah kek waktu kau samaku dulu, that's why, i want to know. Who's he?"

"Ada, Bang. Ada lah pokoknya dan aku jamin, dia nggak sebrengsek bayanganmu. Tenang, aku aman kok samanya."

"Aman atau malah udah nyaman?"

"Menurutku aman, soalnya aman menjadikanku nyaman dan tidak semua nyaman membuatku aman. Lagian, aku lagi nggak pengen terikat sama siapapun, Bang. Aku mau fokus ke kuliah sama karir dulu. Aku pun ngerasa dekat ke dia bukan berarti aku naksir atau gimana ya, Bang. Tapi emang dia baik dan aku ngerasa aman kalau lagi samanya. Aku juga lebih produktif, kok! Percayalah samaku, dia baik!"

"Tapi, dari caramu cerita, kau nampak tertarik ya samanya? Hahaha."

"Tertarik gimana? Ihhh, udahlah, Bang! Udah aku bilang, dia support system buatku saat ini. Aku nggak ada kepengenan juga buat jadian sama dia, tapi ya untuk saat ini emang aku ngerasanya aman kalau sama dia. Udah kayak kakak buatku dan yang lebih penting sih, dia bisa dengarin aku. Walau kadang galak, tapi galaknya nggak sampai tempramen kayak kau itu, hehe. Dia juga nggak selalu mengiyakan apa yang aku pengen dan aku lebih suka itu. Bisa aku bilang, dia bijak, Bang! Nggak kek Abang, hahahaha, sorry lah, ya!"

"Anjayyyy, penasaran awak bahhh! Haha, okelah, percaya aku samamu dan kalau memang kau belum mau kasih tahu siapa dia, ya udah. Aku nggak akan maksa, tapi yang penting, kau benar-benar bisa jaga diri. Jangan sampai salah berkawan, jangan sampai keliru lagi! Cukup akulah orang yang nggak seharusnya dampingi kau, jangan ada lagi, hehe.."

"Nggak boleh gitu, justru karena Abang kan aku jadi bisa lebih paham gelapnya kehidupan di sini, hehe."

"Hahaha, iya. Eh, tengoklah!" katamu yang membalikkan sorotan kamera ke arah laut dengan warna langit kemerahan.

"Abang di mana, sih?" tanyaku yang sedari tadi menahan rasa penasaran.

"Lombok, di Bukit Merese aku sekarang."

"Jauh kali, ngapain?"

"Ada lah, hehe. Bagus kan sunset-nya?" tanyamu sembari mengarahkan kamera ke segela penjuru.

"Cantik!" pukauku.

"Kek kau kalau lagi senyum, haha.." godamu yang dulu sering aku dengar.

"Yeee, si bodat!" ledekku yang sebenarnya tersipu.

"Kau jaga diri baik-baik, ya! Sekali lagi, maaf kalau dulu aku jadi alasan di balik tangis-tangismu. Maaf juga udah bikin kau hampir depresi karena ulah tololku dan percayalah, aku menyesali semua itu. Aku mau kau jadi perempuan kuat, perempuan yang hebat dan aku mau kau nggak salah pilih pendamping. Siapapun laki-laki yang nanti samamu, aku harap dia bisa memahami kemanjaanmu dan mengerti dengan segala sikapmu," tuturmu.

Clueless, aku tidak tahu harus menjawab apa karena ini aneh. Kamu yang aku kenal angkuh, kenapa jadi begini? Ada apa? Tapi, ya sudah. Aku akan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan aku akan menjaga diri dengan lebih keras lagi. Terima kasih, obrolan singkat kita cukup bermakna kali ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun