"Tumben kali reaksimu sepositif ini? Kaget aku, hehe," celetukku heran bercampur senang.
"Iya, maaf ya. Seriuslah, maafin aku yang dulu nggak pernah bisa apresiasi pencapaianmu. Dulu, aku malah seringnya bikin kau pikiran, nangis dan nggak pernah mau dengarin cerita-ceritamu itu. Sorry lah, ya!" katamu yang terhiasi sesal.
"Iya, ndakpapa. Kan, yang udah ya udah, hehe. Mohon doanya aja lah, Bang!" tenangku.
"Pasti! Namamu selalu aku bawa dalam doa kok, tapi udah beda doanya, hehe," tuturmu yang kini mengubah ekspresi menjadi agak malu.
"Beda gimana?" tanyaku yang penasaran.
"Dulu, aku bawa namamu dalam doa agar Tuhan jadikan kau orang yang kuat samaku. Orang yang bisa bawa aku ke jalan yang lebih baik dan egoisnya, aku juga berharap kau bisa samaku hingga nikah, hahaha. Tapi, sekarang aku sadar kok, doaku keliru."
"Keliru?"
"Iya, aku mendikte Tuhan dengan egois, tapi aku sendiri tidak mengupayakan yang terbaik untukmu. Ingat kau, kan? Kekmana aku waktu marah dan maki-maki kau di depan kos? Sampai aku pun lempar rokok ke kau, hehe."
"Ingat, dua minggu lagi tepat setahun loh peristiwa itu, Bang! Hahaha, abis itu besoknya aku muter nyari Abang dan akhirnya kita saling ghosting, hahaha."
"Maaf lah ya, sumpah aku nyesal kali kalau ingat itu. Rasanya aku ingin peluk kau dan minta maaf langsung, loh! Eh, tapi udah nggak bisa lagi aku peluk kau, ya? Bukan muhrim kita, haha,"
"Hahaha, emang kita pernah jadi muhrim, Bang? Sansss, udah dimaafin, Bang. Ndakpapa, udah kejadian juga, kan? Aku malah senang dengar Abang bisa berpikiran gini sekarang, makin dewasa aja nampaknya, ya! Abis makan apa kau, Bang?"