"Jadi alasan utama kamu minta aku kembali itu karena wishkasmu, Mochi?" teriak Alina karena merasa sedikit kesal. "Ah, kalau gitu aku di sini saja," sambung Alina lagi.
"Bercanda, Alina. Ini bukan semata karena wishkas. Aku memang membutuhkan kehadiranmu di dunia. Selama setahun ini, aku menganggapmu sebagai satu-satunya keluargaku. Caramu menyayangiku, tidak pernah kurasakan dari tangan yang lain. Alina, mungkin di dunia aku tidak bisa berkata panjang lebar seperti ini karena bahasa miawku yang tidak pernah dipelajari oleh manusia. Tapi kamu harus selalu tau, kamu itu sangat berharga buatku Alina, lebih dari hidupku sendiri. Tidak hanya untukku, tapi bagi semua makhluk di bumi yang sempat merasakan kasih sayangmu. Sekali lagi kutegaskan, di setiap sudut manapun, hadirmu akan selalu berharga Alina. Tolong tetaplah hidup sampai kamu menemukan kebahagianmu. Kembalilah, Alina." Perkataan Mochi meruntuhkan egonya. Alina terharu mendengar setiap kata yang disusun oleh Mochi. Dengan senyum yang terbentuk, ia mengusap lembut kepala Mochi. Alina luluh, ia mengangguk sebagai jawaban setuju untuk kembali. Rasa setuju Alina juga membuat ayah dan ibunya tersenyum senang.
"Ayo Sayang," ajak ayahnya sembari menarik tangan kanan Alina.
Alina tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Ayo Bu," ajak Alina kepada ibu. "Tidak, Sayang." Ibu menolak sembari menggelengkan kepalanya. Senyumnya pudar setelah itu.
"Kenapa? Ayo ikut bersama Alina, Bu." Alina menatap ibunya dengan penuh pengharapan.
"Tempat Ibu sudah di sini, Sayang. Nanti kalau sudah waktunya, kita berkumpul di sini ya. Ibu tunggu kalian," kata sang ibu. Alina kembali menangis. Bersamaan dengan tangisannya itu, semua yang di hadapannya perlahan menghilang, termasuk ibu. Ia juga kembali ke tubuhnya yang sedang terbaring.
"Alina, bangun. Buka mata kamu, Sayang." Suara itu membuat Alina mencoba membuka matanya perlahan. Cahaya di ruangan itu tampak terlalu silau di matanya. Sang ayang yang menyadari Alina telah sadar pun langsung bangkit memeluk tubuh Alina.
"Alina, akhirnya kamu mau membuka matamu. Maafkan Ayah ya," kata ayah dengan nada menyesalnya.
Ayah mengusap rambut Alina. "Ayah salah Alina. Ayah terlalu mementingkan ego Ayah. Ayah terlalu bersikap dingin kepada kamu, padahal Ayah tau kamu juga sama merasa kehilangan sosok ibu. Ayah..."
"Ayah, cukup. Alina tau alasan Ayah kok. Alina paham," ucap Alina dengan lembut disertai senyum kecilnya.
Ayah memasang ekspresi bingung. "Tau alasan Ayah?"