"Alina, banyak orang di dunia itu yang masih membutuhkan hadirmu. Karena bagi mereka, kehadiranmu adalah hal yang berharga, Sayang."
"Tidak ada yang menganggap Alina berharga di sana Ibu, tidak ada. Alina sendirian, Bu. Alina kesepian. Tidak ada yang mau berteman dengan Alina, bertukar cerita, atau mungkin hidup bersama Alina," lirih Alina.
Alina menarik napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya lagi. "Bahkan, termasuk Ayah," sambungnya.
Ibu Alina menggelengkan kepalanya sembari mengatakan, "tidak, Alina. Kamu itu sangat berharga buat ayah kamu."
"Ibu bohong kan? Bagaimana bisa Ibu bilang kalau Alina berharga di mata Ayah, sedangkan Alina yang melihat perubahan sikap Ayah yang semakin dingin di setiap harinya," jelas Alina yang membuat dadanya terasa begitu sesak.
Tangisnya semakin hebat, Ibunya juga hanya membiarkannya tenang dalam pelukannya. Namun, di keheningan itu, sebuah suara terdengar menggema di tempat Alina berada. "Alina, buka mata kamu Sayang."
Alina melepas pelukan sang ibu sembari mencari sumber suara tersebut. "Siapa itu?" teriak Alina.
"Alina, bangun. Maafin Ayah yang tidak pernah memperhatikanmu semenjak meninggalnya Ibu. Alina, buka mata kamu Sayang." Suara itu terdengar lebih keras dari sebelumnya. Isakan tangis juga kerap mengikuti kalimat-kalimat yang terdengar.
"Ayah." Alina terus mencari asal suara itu. "Ibu, itu Ayah?" tanya Alina yang langsung mendapatakan anggukan kecil dari ibunya.
"Alina, Ayah di sini." Alina membalikkan badannya ketika mendengar suara tersebut. Kini, yang ada dihadapannya adalah sang ayah yang sedang menggendong Mochi. Ayah terlihat sangat berbeda kali ini. Senyumannya terukir seperti dulu, tatapannya penuh dengan kasih sayang, dan suaranya kali ini juga mampu menyejukkan hati. Alina melihat karakter lama ayahnya yang sangat dirindukannya.
"Ayah di sini?" tanya Alina tak percaya. Ayah tersenyum sembari mengangguk. "Ayah mau ajak kamu pulang, Sayang."