Malam ini, tetesan air hujan yang tidak terkira jumlahnya jatuh bergantian membasahi lapisan bumi, menghasilkan alunan suara hujan yang terdengar bagai melodi yang sangat menenangkan di hati. Suara hujan seperti inilah yang disukai oleh seorang anak perempuan yang sedang terduduk di pojok kamar dengan menyandarkan kepalanya ke jendela. Alina Slavia, ya itulah namanya. Nama yang melekat memang seindah rupa dan wataknya, namun tidak dengan hidupnya semenjak meninggalnya sang ibu sebulan yang lalu. Tidak ada yang terasa indah lagi, semua terasa begitu hambar. Alina mengira hanya ibu yang hilang, namun ternyata semuanya, termasuk ayah, kasih sayang ayah, dan senyumannya, mereka ikut hilang bersamaan dengar terkuburnya jasad ibunya di hari itu.
"Bu, apa Ibu juga merasa kesepian di sana sama seperti yang alina rasakan sekarang?" Alina menatap ke arah langit sembari membayangkan wajah ibu di atas sana. Butiran air mata perlahan jatuh membasahi pipinya, hingga menjadi tangisan yang amat deras.
"Ibu...Ibu...Alina rindu. Ibu, tidak ada yang membutuhkan Alina di sini. Ajak Alina bersama Ibu. Alina mohon, Bu," pinta Alina di sela isakan tangisnya.
Setiap malam memang menjadi suasana terberat bagi Alina. Hatinya selalu dipenuhi dengan rasa rindu yang sangat mendalam kepada sang ibu dan juga kekosongan yang begitu menyelimuti hidupnya. Tidak ada yang bisa diajak untuk bertukar cerita. Alina hanya punya ayah. Namun, ayahnya selalu menyibukkan diri dengan bekerja, tanpa pernah bertanya mengenai keadaan anaknya.
Di dalam kesendiriannya, tiba-tiba suara lembut khas seekor kucing kesayangannya menyelinap masuk ke dalam keheningan. "Miaww...Miaww."
Alina menoleh ke sumber suara, "Mochiku." Kedua sudut bibir Alina terbentuk ketika melihat kucing kesayangannya muncul dari balik pintu.
"Sini Mochi." Alina merentangkan tangannya. Seakan mengerti namanya dipanggil, kucing tersebut langsung berjalan mendekat ke arah Alina. Sorot mata Mochi yang penuh kasih terlihat memancarkan kehangatan, seolah ia tahu bahwa pemiliknya sedang membutuhkan sebuah hiburan.
"Mochi kamu dari mana saja sih?" tanya Alina sembari membelai lembut bulu halus milik Mochi. Yang ditanya pun hanya diam, mana mungkin hewan bisa menjawab pertanyaan manusia. Akan menjadi suatu keajaiban jika Mochi bisa berbicara.
Belaian demi belaian yang diberikan Alina kepada Mochi mampu membuat kesedihan Alina teralihkan. Mochi pun terlihat merespon pergerakan Alina dengan menggosok-gosokkan kepalanya ke tangan Alina. Hal itu menimbulkan efek geli di diri Alina yang membuatnya tertawa kecil. Tidak sampai di situ, selanjutnya Mochi pun terlihat berusaha meraih wajah Alina dengan kedua kakinya. Alina yang paham langsung membantu usaha Mochi dengan lebih mendekatkan wajahnya. "Nih, bebas kamu mau ngapai muka aku. Asal jangan di cakar ya, awas aja."
Mochi mengeong seakan mengerti perkataan Alina. Ia lalu mengusap-usap dengan lembut pipi Alina menggunakan kaki-kaki mungilnya. Hal itu membuat si pemilik pipi tersenyum gemas. Di sela tingkah gemasnya itu, Mochi juga terus menerus memperdengarkan suara nyaring khas kucing layaknya seperti orang yang sedang mengoceh panjang lebar. Mungkin jika diterjemahkan, Mochi itu mengatakan, "Alina, jangan sedih lagi. I'm here, don't feel lonely. Okay?" Begitulah kira-kira terjemahan bahasa kucing Mochi.
"Ih kamu sweet banget si. Kamu paham ya kalau aku lagi sedih." Alina memeluk tubuh mungil Mochi sembari menciumnya. Sungguh, kehadiran Mochi bisa menenangkan Alina. Walaupun Mochi adalah seekor kucing yang tidak bisa diajak berbicara, namun Alina menyadari hewan seperti Mochi juga bisa merasakan kesedihan yang sedang dialaminya.