“Kamu serius?”
“Iya. Pasti menyenangkan.”
Sis termangu sejenak, tapi dia tersenyum dan mengangguk. “Tunggu sebentar, ya.”
Sis kembali ke dalam rumah. Sepuluh menit kemudian, dia datang membawa tikar dan pelbagai cemilan, dibantu Sum, asisten rumah tangga mereka yang setia.
“Duh, Nyonya! Nanti Nyonya masuk angin, lho!” kata Sum cemas, saat menggelar tikar di bawah pohon.
“Kalau begitu, tolong bawakan balsam dan minyak angin di kamar saya ya, Sum.”
“Baik, Nya.”
Sum kembali ke rumah, sementara Sis menata toples-toples berisi dodol, semprong, wajik, dan segala rupa. Ia tuangkan juga wedang jahe ke dua buah gelas. Barulah dia bantu Ningsih untuk duduk di atas tikar.
Piknik dadakan yang menyenangkan. Bahkan Sum tersenyum senang melihat kedua majikan tuanya bergembira. Langit cerah, udara mulai menghangat, seolah Tuhan sendiri tak ingin merusak kebahagiaan kecil itu.
Keduanya bercengkrama, tertawa, bercanda, mengenang indahnya masa muda, dan kemudian hanya saling diam menatapi awan yang berarak. Ningsih meletakkan kepalanya di bahu Sis. Sis menggenggam tangan Ningsih dengan lembut di pangkuannya. Tak perlu ada kata, tak perlu ada puisi indah… yang ada hanyalah samudera kasih yang menenggelamkan mereka dalam bahagia.
“Mereka takkan datang, kan?” tanya Ningsih.