“Bagaimana kebun teh kita, Kang?”
“Aku suruh Maman saja yang mengatur semuanya.”
Ningsih menangguk-angguk. Ia mengedarkan pandangannya ke perkebunan teh di kaki bukit. “Cantik ya, pemandangannya.”
“Tidak secantik kamu, Neng.”
Ningsih tertawa serak. “Aku sudah dirubungi keriput, Kang.”
“Tapi keriput takkan pernah bisa merubungi keelokan hatimu.”
Rona di pipi Ningsih muncul lagi, menyalakan kembali cahaya kehidupan di wajah pucatnya.
“Kamu masih ingat kencan pertama kita?” tanya Ningsih.
“Tentu. Aku tak mungkin lupa. Di bawah pohon jambu punya Wak Haji Abdullah,” kekeh Sis.
“Dikerubungi nyamuk cuma untuk saling diam, tersenyum malu-malu.”
Sis tertawa. “Lalu hujan, dan akhirnya pamit pulang tanpa bisa bilang ‘aku cinta kamu’.”