Ningsih mengangguk. Ia pandangi mentari yang beranjak naik di luar sana. Ada kerinduan yang membuncah di dadanya.
“Temani aku keluar, Kang…”
“Eh? Apa?”
“Aku mau jalan-jalan di luar. Temani aku,” ulangnya.
“Udara di luar masih dingin, nanti—”
“Tak apa. Aku kan sudah sehat lagi,” kekeh Ningsih.
Sis tak bisa menolak. Ia mengangguk, segera menyiapkan kursi roda untuk istrinya. Ningsih mengalungkan kedua lengannya di leher Sis, saat Sis menghela tubuh ringkih itu ke kursi roda. Sweater dan selimut Ningsih kenakan supaya badannya tetap hangat. Setelah itu, Sis pun mendorong Ningsih ke luar rumah.
Sis berhenti di teras, namun Ningsih ingin duduk di bawah pohong beringin, di ujung pekarangan rumah mereka yang berada di sebuah bukit kecil.
“Nanti kamu kedinginan.”
“Tak apa. Aku kan sudah sehat.”
Lagi-lagi Sis tak bisa menolak permintaan istrinya. Mereka akhirnya duduk bersama di bawah pohon beringin itu. Sis duduk di akar pohon yang menyembul dari balik tanah, menemani istrinya yang tersenyum memejamkan mata, membiarkan angin dan sinar surya menyapanya.