Tak ada yang dapat menyamai kesedihan Sis. Tangis Sum yang deras pun takkan mampu menandingi tangisan hati Sis. Ningsih telah berpulang… tanpa mengajaknya ikut serta. Ningsih telah pergi di pangkuannya. Tersenyum, di rangkulannya.
Padahal Sis hendak membangunkan Ningsih, supaya mereka berdua kembali ke kamar. Namun Ningsih tak kunjung bangun. Tak ada nafas, tak ada denyut kehidupan, Ningsih telah berpulang. Rasanya, jiwa Sis meluruh saat itu juga. Pujaan hatinya telah tiada? Sis bingung bukan main. Ningsih pergi? Kemana Sis harus mencarinya? Kemana dia harus pergi untuk mendapatkan kembali belahan jiwanya? Permata hidupnya? Mataharinya? Kemana? Dimana?
Air mata serta-merta berebutan untuk mengalir, setelah Sis sadar dia tak mungkin mendapatkan Ningsih kembali di dunia ini. Jadi, dia dekap saja raga tak bernyawa di pangkuannya itu dengan erat. Dalam getar, Sis mengelus rambut Ningsih, mencium pipinya, bibirnya, meski tak berbalas.
"N-Ningsih... N-Neng..." panggilnya, serak, tercekat.
Tak ada jawaban. Hanya senyuman.
Tangis Sis pun semakin jadi. Ia tak tahu berapa lama ia menangis. Bisa jadi sampai pagi, sampai Sum terbangun dan kaget mendapati nyonya majikannya telah wafat.
Setidaknya, dia pergi dengan bahagia. Setidaknya, dia pergi tanpa menderita, tanpa sakit, tanpa tersiksa. Setidaknya…
Air mata meluncur lagi. Pilu. Kesedihan ini tak tertahankan. Hati mana yang kuat menghadapi duka macam ini?
Ningsih – wanita yang telah menemani hidupnya selama hampir setengah abad, terus berada di sampingnya dalam segala suka dan duka, mendampinginya lebih lama ketimbang sang bunda – kini telah tiada. Raganya ada, belum dikubur, namun hanya cangkang kosong tanpa makna. Ningsih di dalamnya telah mencapai Nirwana… tanpa mengajaknya ikut serta.
Tak ada lagi senyumnya, tak ada lagi pelukan hangatnya, tak ada lagi tawanya… yang tersisa hanyalah kenangan semata. Ia sudah terbiasa dengan sosok Ningsih di sisinya, begitu terbiasa dengan aroma bedak talcumnya, begitu terbiasa tatapan mata sendunya, terlalu terbiasa dengan genggaman hangatnya, hingga terasa tak terbayangkan ia kehilangan semua rasa yang ada.
“Ayah…”