“Hihihi. Masa-masa indah, ya?”
“Ya. Sangat indah.”
“Lalu piknik berdua di taman, beralaskan tikar bolong.”
“Rama masih kecil. Tiga tahun?”
“Dua tahun,” ralat Ningsih. “Ah… Rama. Apa kabarnya ya di Amerika? Aku kangen...”
“Aku yakin dia baik-baik saja dan merindukan kita,” jawab Sis, setelah berdeham.
Dia berbohong. Sakit rasanya membohongi istrinya sendiri. Tapi, ia tak mau merusak pagi indah itu dengan kenyataan yang perih. Kenyataan bahwa tak ada satupun anak-cucu yang merindukan mereka. Meski sudah berkali-kali ia coba untuk menelepon keempat anaknya, mereka cuma bilang akan pulang, akan menjenguk ibu, tanpa benar-benar berniat untuk melakukannya. Ada nada bosan, malas, dan sebal tiap kali Sis menelepon mereka. Beberapa kali telepon Sis bahkan dibiarkan begitu saja, tidak diangkat.
Ningsih mengangguk-angguk, tersenyum bahagia.
“Ah, bagaimana kalau kita piknik-piknikan, Kang? Untuk mengenang masa indah jaman dulu kala!”
“Piknik? Dimana?”
“Di sini saja. Gelar tikar, bawa dodol, dan wedang jahe.”