Ningsih terkekeh. “Memangnya aku bayi?”
“Sudah, sini aku suapi.”
Ningsih tidak menolak lagi. Ia biarkan Sis menyuapinya. Rasanya seperti berusia 20-an lagi. Sembari bercanda, Ningsih menghabiskan bubur ayamnya. Nafsu makannya membaik. Mungkin inilah pertama kalinya dia menghabiskan seporsi bubur nasi setelah beberapa bulan lamanya. Sis gembira sekali melihat mangkok itu kosong tak berisi.
“Sepertinya kamu memang sudah sehat lagi, Neng.”
“Kan sudah kubilang,” senyum Ningsih, menyeruput teh melati hangat kesukaannya.
“Sudah lama sekali tidak melihat kamu sebugar ini.” Mata tua Sis sedikit berembun.
“Karena aku mimpi indah tadi malam, Kang…”
“Mimpi apa?”
“Mimpi kita makan malam bersama lagi… Bersama anak-anak kita…”
Trenyuh rasanya melihat senyum bahagia di wajah Ningsih. Sis paksakan untuk ikut tersenyum, ikut gembira, meski ia tahu mimpi Ningsih terlalu muluk untuk menjadi kenyataan… paling tidak, tak mungkin terealisasi dalam waktu dekat.
“Pasti mimpi yang sangat indah…”