“Kamu masih saja pembohong yang buruk, Kang…”
“Andai aku adalah pembohong ulung, Neng. Dengan begitu, kamu akan percaya dengan semua kebohongan indahku.”
Ningsih tersenyum. Dia lap airmatanya, lalu mengucapkan “terima kasih, Kang…”
***
Belum pernah Ningsih sebahagia hari ini sejak kanker menggerogoti raganya. Usia piknik, Sis membawanya berjalan-jalan. Mereka bertemu dan bercengkrama dengan para pemetik teh, memetik bunga, naik delman, berbelanja buah-buahan di pasar, bercengkrama, dan akhirnya pulang saat sore hari tiba.
Sore hingga malam mereka lewati dengan minum teh bersama, sembari memutar ulang lagu-lagu favorit mereka di tape butut yang usianya sudah mencapai dua puluh tahun. Puluhan kaset mereka putar. Ratusan lagu mereka dengarkan. Keroncong, jazz, The Beattles, hingga Benyamin S.
Begitu lagu Bengawan Solo mengalun, Ningsih meminta Sis untuk mengajaknya berdansa.
“Tapi kakimu…”
“Kuat kok. Aku kan sudah sehat,” kekeh Ningsih.
Sis tersenyum mafhum. Ia membantu Ningsih berdiri, dan menari bersama. Dibilang menari pun kurang tepat, sebab mereka hanya saling berpelukan dan bergoyang pelan ke kanan dan ke kiri. Tapi itu sudah cukup buat mereka.
Itu sudah cukup buat Ningsih.