Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cara Urang Kanekes Menjaga Kearifan Lokal untuk Kelestarian Lingkungan

10 Februari 2024   05:00 Diperbarui: 10 Februari 2024   13:27 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Urang (Orang) Kanekes adalah sebutan yang disandarkan kepada masyarakat Suku Baduy yang tinggal di Kawasan Pegunungan Kendeng Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Suku Baduy merupakan kelompok masyarakat adat yang termasuk bagian dari salah satu etnis Suku Sunda dengan jumlah penduduk sekitar 9.297 orang.

Mereka bermukim tersebar di 59 kampung diantaranya tiga kampung Baduy Dalam yakni Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. 55 kampung Baduy Luar, dan sebuah kampung di luar Baduy yakni Kampung Cicakal Girang Desa Kanekes.

Orang Kanekes sebagai masyarakat adat terikat oleh tatanan hukum adat Suku Baduy. Mereka memiliki wilayah yang bersifat ulayat sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang "Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy."

Namun, bukan berarti orang luar Desa Kanekes tidak boleh berkunjung atau memasuki wilayah Suku Baduy. Faktanya, Suku Baduy bukanlah masyarakat tertutup. Adat istiadat mengharuskan mereka menerima pendatang sebagai tamu.

Saya pernah berkunjung (baca: Saba Budaya) ke Baduy Dalam bersama rombongan teman-teman kantor pada tahun 2009. Kebetulan saat itu ada seorang teman kami yang merupakan Orang Desa Kanekes, yang tinggal di Kampung Cicakal Girang.

Jadi, saat itu rombongan kami berangkat siang hari. Dari Pusat Kota Pandeglang untuk menuju titik awal perjalanan ke Cicakal Girang membutuhkan waktu sekira tiga jam perjalanan menggunakan mobil.

Lalu, setelah sampai ke titik awal perjalanan yakni perbatasan Desa Kanekes, kami sudah tidak bisa lagi menggunakan kendaraan dan harus berjalan kaki selama sekira satu jam menuju pemukiman masyarakat Suku Baduy Luar dimana nantinya tempat kami bermalam.

Untuk perbekalan, tak lupa kami membawa makanan jajanan dan bahan-bahan mentah seperti beras, mie instan, sayuran, ikan asin, serta garam dapur. 

Konon kabarnya masyarakat Suku Baduy memiliki kegemaran terhadap ikan asin dan garam dapur yang memang sukar diperoleh di kawasan pegunungan, kecuali dengan membelinya di pasar.

Baru kemudian keesokan harinya pagi-pagi sekali, rombongan kami berangkat menuju Baduy Dalam. Selama perjalanan ke pemukiman masyarakat Baduy Dalam kami dipandu oleh guide warga setempat.

Perjalanan dari Kampung Cicakal Girang menuju Baduy Dalam ditempuh sekira empat jam perjalanan (pergi-pulang 8 jam) dengan tanjakan dan turunan yang menantang, serta melalui jalur setapak yang berkelok dan menguras stamina.

Setiba di kawasan Baduy Dalam kami hanya beristirahat selama dua jam sambil bercengkerama dan menikmati suasana alam yang asri dan kesederhanaan masyarakat Suku Baduy di Kampung Cibeo.

Setelah itu kami kembali pulang menuju ke Baduy Luar karena kami tidak berencana menginap di Baduy Dalam, sekaligus mengejar waktu untuk kembali pulang ke Pandeglang pada sore hari.

Dalam kunjungan Saba Baduy, disana kita akan mengalami pengalaman yang unik dan berbeda dari wisata-wisata lainnya. Keberadaan Suku Baduy Dalam yang mempertahankan kearifan lokal dan gaya hidup tradisional mereka menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjungnya.

Kunjungan ke Baduy Dalam juga mengajarkan pentingnya menjaga alam dan lingkungan sekitar. 

Larangan penggunaan bahan kimia dan praktik hidup sederhana yang diterapkan oleh suku Baduy Dalam menjadi contoh inspiratif bagi kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam.

Melalui perjalanan Saba Baduy ini juga kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kearifan lokal, keberagaman budaya, dan hubungan manusia dengan alam. 

Saba Budaya ini memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk merefleksikan hidup kita sendiri dan menghargai keberagaman yang ada.

Baca juga : Bisakah Makan Gizi Seimbang Mencegah Anak Stunting?

Asal Muasal Masyarakat Suku Baduy

Urang Kanekes / Baduy Luar (Foto: Facebook Gadis Baduy)
Urang Kanekes / Baduy Luar (Foto: Facebook Gadis Baduy)

Sebutan Baduy merupakan istilah yang digunakan orang luar kepada Orang Kanekes. Sejatinya, mereka lebih senang menyebut dirinya Orang Kanekes sesuai nama desa tempat mereka bermukim.

Namun, sekarang sebutan tersebut bagi mereka sudah tidak mempersoalkan, apakah disebut Orang Baduy atau Orang Kanekes.

Menurut Uday Suhada, salah seorang pengamat budaya asal Menes, Kabupaten Pandeglang dalam bukunya "Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah" mengungkapkan, asal muasal Suku Baduy diyakini sebagai keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke bumi.

Dalam kepercayaan Suku Baduy, mereka meyakini nenek moyang Suku Baduy sudah ribuan tahun tinggal di wilayah Kakolotan secara turun-temurun. Asal usul tersebut sering juga dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. "Mereka percaya jika Nabi Adam turun di wilayahnya," tulisnya.

Versi lain tentang asal usul Suku Baduy juga pernah ditulis sebelumnya oleh seorang wartawan senior yang juga budayawan Djoewisno, dalam bukunya berjudul "Potret Kehidupan Masyarakat Baduy."

Cerita tentang masyarakat Suku Baduy ditulis sebagai keturunan Kerajaan Pajajaran yang mengasingkan diri ke wilayah Pegunungan Kendeng di Banten Selatan pada abad ke-12 masehi

Dalam bukunya itu, Djoewisno menyebut awal mula pengasingan diri terjadi saat wilayah Banten dikuasai oleh Sunan Gunung Jati yang membawa misi menyebarkan agama Islam.

Kala itu, disaat mayoritas rakyat Pajajaran memutuskan untuk masuk Islam, sebagian lainnya memilih untuk mempertahankan agama nenek moyang, kemudian mereka hijrah ke Pegunungan Kendeng dan tinggal di sana hingga hari ini. 

"Orang-orang Baduy bukan suku terasing, mereka yang mengasingkan diri di Banten Selatan," tulisnya.

Sampai kini, Desa Kanekes yang di dalamnya bermukim Suku Baduy kerap dikunjungi wisawatan domestik maupun mancanegara. 

Ada beberapa aturan yang harus ditaati ketika berkunjung ke wilayah pemukiman Suku Baduy. Aturan-atauran tersebut berbeda untuk Baduy Dalam, Baduy Luar, dan perbatasan keduanya.

Baduy Dalam khususnya Kampung Cibeo lebih terbuka terhadap pendatang. Namun, disini pengunjung tetap tidak boleh mengambil foto.

Dan apabila menginap di kawasan Baduy Dalam kita dilarang memakai sabun, sampo, odol pasta gigi, dan bahan kimia lainnya saat mandi lantaran katanya barang-barang tersebut dikategorikan bisa merusak alam.

Baca juga : Tantangan Hidup Hemat di Tengah Kehidupan yang Serba Materialistis

Eksistensi Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar

Kampung Kadu Ketug, Kanekes / Baduy Luar (Foto: facebook.com/arifinnoer.lagaligo)
Kampung Kadu Ketug, Kanekes / Baduy Luar (Foto: facebook.com/arifinnoer.lagaligo)

Urang Kanekes baik Suku Baduy Dalam maupun Baduy Luar hidup di tanah ulayat (tanah adat) secara turun temurun. Mereka hidup di kawasan pemukiman yang berbeda, namun keduanya memiliki prinsip tradisi dan budaya nenek moyang yang masih terjaga hingga kini.

Kawasan pemukiman Suku Baduy Dalam terdiri atas Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Kampung Cikeusik.

Sementara pemukiman Baduy luar terdiri atas Kampung Kaduketug 1, Kaduketug 2, Kaduketer 1, Kaduketer 2, Cicatang 1, Cicatang 2, Cisaban 1, Cisaban 2, Cipaler 1, Cipaler 2, Cicakal Girang 1, Cicakal Girang 2, Cisagu 1, Cisagu 02.

Lain itu di Baduy Luar ada juga Kampung Cipondok, Kadukaso, Cihulu, Marengo, Balingbing, Gajeboh, Cigula, Kadujangkung, Karahkal, Kadugede, Cikopeng, Cibongkok, Corokokod, Ciwaringin, Cibitung, Batara, Panyerangan, Leuwihandam, Kadukohak, Cirancakondang, Kaneungai, Cicakalmuara, Cicakal Tarikolot, Babakan Cicakal Girang, Ciipit Lebak, Ciipit Tonggoh, Cikasi Cinangsi, Cikadu, Cijangkar, Cijengkol, Cilingsuh, Babakan Eurih, Cijanar, Ciranji, Cikulingseng, Cicangkudu, Cibagelut, Cisadane, Batubeuah, Cibogo, dan Kampung Pamoean.

Sedangkan satu kampung lainnya yang berada di luar Baduy adalah Cicakal Girang. Namun, kampung ini tidak dikategorikan sebagai "Baduy" lantaran mayoritas warga masyarakatnya sudah memeluk agama Islam.

Terlepas terdapat perbedaaan dalam beberapa hal antara Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar, mereka tetap layak menjadi contoh bagi kita yang hidup di zaman now.

Salah satu teladan yang baik dari Suku Baduy adalah betapa mereka sangat menjaga alamnya dan sangat suka dengan kesederhanaan atau Frugal Living.

Masyarakat Suku Baduy Dalam saat ini masih bermukim di pelosok perkampungan tanah adat yang terletak di pedalaman. Keyakinan yang mereka anut yakni kepercayaan Sunda Wiwitan yang masih dipegang sangat kuat oleh masyarakat Baduy Dalam.

Masyarakat Baduy Dalam ini biasanya akan menggunakan pakaian serba berwarna putih, istilahnya yaitu "jamang sangsang". 

Baju khas suku Baduy Dalam ini memiliki aturan yang cukup ketat salah satunya, tidak boleh menggunakan alat mesin jahit dalam pembuatannya.

Pakaian serba putih tersebut memiliki arti bahwa kehidupan suku Baduy Dalam suci adanya dan tidak terpengaruh oleh budaya luar.

Suku Baduy Dalam tidak mengenyam pendidikan, melek teknologi, bahkan tak beralas kaki, karena hidup apa adanya itu dirasakan sebagai cara untuk tetap dekat dengan Yang Maha Kuasa.

Nah, eksistensi Baduy Dalam ini dilindungi oleh Baduy Luar yang bertugas menyaring "hempasan informasi dari dunia luar" sehingga adat istiadat Suku Baduy tetap terjaga dan lestari.

Sementara itu, berbeda dengan Suku Baduy Dalam, masyarakat yang mendiami pemukiman di kawasan Baduy Luar memiliki aturan adat yang lebih longgar lantaran sudah tercampur dengan budaya luar dan sudah sekolah pendidikan formal dan melek teknologi.

Pun demikian, mayoritas masyarakat Baduy Luar masih menjunjung tinggi kepercayaan atau menganut ajaran Sunda Wiwitan.

Ciri khas Baduy luar terlihat dari pakaian serba hitam yang biasa dikenal dengan kampret dengan ikat kepala biru. Baju adat Suku Baduy Luar juga masih terbuat dari bahan yang berasal dari alam sekitar.

Baca juga : Kiat Menjalani Hidup Sehat dengan Makan Gizi Seimbang 

Bagaimana Suku Baduy Menjaga Kearifan Lokal agar Lingkungan Tetap Lestari?

Menjaga Alam Menjaga Kehidupan (Foto: Facebook Seputar Baduy)
Menjaga Alam Menjaga Kehidupan (Foto: Facebook Seputar Baduy)

Masyarakat Suku Baduy sangat menjaga kelestarian lingkungannya. Hal itu sebagai upaya dalam menjaga keseimbangan alam semesta.

Tak ada eksploitasi air dan tanah yang berlebihan di tatar Baduy. Semua sudah ada porsi dan batasannya dalam menggunakan sumber daya alam.

Menurut mereka yang tinggal di Baduy Dalam maupun Baduy Luar, tradisi, budaya, dan lingkungan alam menjadi salah satu hal yang sangat dijaga.

Masyarakat Suku Baduy merupakan sebuah entitas budaya yang unik dan keberadaannya sangat berharga lantaran kehidupan mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan tradisi, telah berhasil mempertahankan identitas dan kelestarian budaya mereka selama berabad-abad.

Selain kearifan lokalnya yang masih terjaga, berikut beberapa tradisi dan budaya masyarakat Baduy yang masih mereka pertahankan sampai sekarang.

1. Menjungjung Tinggi Nilai Silaturahmi

Tak dapat dipungkiri, kehidupan di pemukiman Suku Baduy (khususnya Baduy Dalam) menjadi magnet bagi wisatawan yang tertarik untuk menyaksikan kehidupan yang alami.

Dalam kesehariannya, masyarakat Baduy masih mengikuti aturan-aturan adat yang ketat dan menjaga hubungan harmoni dengan lingkungan sekitar, termasuk kawasan hutan yang dianggap sakral.

Meski begitu Masyarakat Suku Baduy tidak menolak kunjungan wisatawan. Namun, secara tersirat mereka menolak menggunakan istilah "Wisata Baduy".  

Pasalnya, wisata yang berkonotasi dengan hiburan atau tontonan tersebut tidak patut disematkan kepada masyarakat Suku Baduy.

Karenanya, mereka lebih suka menggunakan istilah "Saba Baduy" atau "bersilaturahmi dengan Baduy". Jadi, bukan karena daerahnya ditetapkan sebagai objek wisata semata.

Oleh karena itu, dalam mengembangkan pariwisata di sekitar Suku Baduy, penting untuk memastikan bahwa pengunjung maupun wisatawan mematuhi aturan-aturan adat dan memperlakukan lingkungan serta masyarakat dengan rasa hormat dan kepedulian.

Masyarakat Suku Baduy adalah sebuah harta karun budaya yang perlu dilestarikan dan dipelihara. 

Dengan melindungi dan mempromosikan keberlanjutan Suku Baduy, kita dapat memastikan bahwa warisan budaya dan lingkungan yang berharga ini akan terus diperoleh oleh generasi mendatang.

2. Sistem Pertanian yang Alami dan Berkelanjutan

Peran penting hutan dalam kehidupan masyarakat Baduy tidak dapat disangkal. Mereka memiliki sistem pengelolaan lahan pertanian yang berkelanjutan, termasuk praktik perladangan berpindah-pindah, yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan pertanian dengan menjaga keseimbangan ekosistem.

Suku Baduy juga memberikan inspirasi bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di Indonesia. 

Model pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan kepatuhan terhadap aturan adat menjadi contoh bagi masyarakat lain dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang padi di tanah kering (huma). Sistem perladangan yang mereka praktikkan adalah berladang berpindah dengan masa bera (istirahatkan lahan) selama lima tahun.

Sebagai mata pencaharian sampingan ketika menunggu waktu panen atau waktu luang, mereka membuat kerajinan tangan dari bambu berupa asepan, boboko, dan nyiru, juga membuat koya atau tas dari kulit kayu.

Masyarakat Baduy juga memasuki hutan untuk mencari rotan, pete, ranji, buah-buahan, dan madu, serta berburu. Mereka membuat atap dari daun kiray dan membuat alat pertanian seperti golok dan kored.

Perempuan Baduy, selain membantu suaminya di ladang, kegiatan yang mereka lakukan pada waktu luang adalah bertenun menggunakan alat sederhana yang mereka buat sendiri.

Selain kegiatan tersebut, bagi masyarakat Baduy Luar, mata pencaharian lainnya adalah menyadap nira untuk membuat gula, bertani tanaman semusim seperti kopi dan cengkeh, menanam kayu sengon, berdagang, dan ada pula yang menjadi buruh.

Terlepas dari ragam pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat Baduy. Mereka melakukan pekerjaan sehari-hari, sekedar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga dengan begitu mereka cenderung tidak mengedepankan produksi secara berlebihan.

3. Hidup Mandiri dan Penuh Gotong Royong

Di banyak tempat di Indonesia, sifat gotong royong sudah sulit untuk ditemui. Namun, sifat ini masih dipertahankan oleh suku Baduy Dalam. Terutama saat harus pindah ke daerah yang lebih subur karena mereka merupakan suku nomaden (berpindah-pindah) dan penganut sistem ladang terbuka.

Dari sini kita perlu belajar kemandirian pangan dari Suku Baduy. Bukan teknologi pertanian canggih dan cepat masa kini yang memberikan sejahtera bagi masyarakat Suku Baduy. Melainkan, kesetiaan pada alam dan ajaran nenek moyang lah yang membuat mereka berlimpah pangan.

4. Hidup Sederhana ala Masyarakat Suku Baduy

Wilayah pemukiman Suku Baduy Dalam praktis gelap gulita saat malam hari. Sehingga tidak banyak aktivitas yang dapat dilakukan.

Malam hari, mereka dimanfaatkan untuk sekedar berkumpul dan mengobrol bersama keluarga atau tetangga sambil bermain alat musik kecapi.

Dalam keseharian, mereka pun dilarang memakai gelas dan piring sebagai alas makan dan minum. Dengan kekayaan alamnya, mereka menggunakan bambu panjang sebagai pengganti gelas, yang menghasilkan aroma khas ketika dituangi air panas.

Cita-cita mereka juga sederhana. Para orang tua tak memiliki cita-cita muluk untuk kehidupan masa depan anak-anaknya. Mereka hanya ingin agar kelak anak-anak mereka membantu berladang.

Cita-cita orang tua Suku Baduy dan masa depan anak-anak mereka itu sempat menjadi polemik tatkala sinyal internet merambah masuk Desa Kanekes. 

Banyak dari anak-anak mereka mulai enggan membantu orang tua ke ladang lantaran sibuk on-line dan keasyikan berinternet ria.

Hal itu membuat Kokolot (oarng yang dituakan) Suku Baduy resah. Dan akhirnya mereka mengajukan penghapusan sinyal internet lantaran dinilai berdampak negatif bagi generasi penerus Suku Baduy, terutama mereka yang berada di pemukiman Baduy Dalam yang meliputi tiga Kampung yakni Cibeo, Cikartawana, dan Kampung Cikeusik.

Menurut mereka, keberadaan sinyal internet terlalu memberikan kemudahan generasi muda mereka dalam mengakses berbagai aplikasi dan konten yang tidak mendidik versi masyarakat Suku Baduy Dalam.

Namun penghapusan sinyal internet itu diputuskan tidak berlaku bagi masyarakat Suku Baduy Luar yang masih diijinkan dengan alasan untuk usaha bisnis on-line.

5. Hidup Hemat dan Sehat Menjadi Prioritas

Kendaraan bermesin, seperti motor dan mobil, tidak diperbolehkan di Baduy Dalam. Namun, itu tidak menghalangi mereka pergi berkunjung ke kota besar. Mereka kerap kali menempuh perjalanan puluhan hingga ratusan kilometer dengan berjalan kaki, namun mereka tidak mengeluh.

Begitupun soal makan sehari-hari Suku Baduy telah menerapkan mindful eating. Mereka menyantap apa adanya makanan yang tersedia di alam. 

Di kalangan Masyarakat Suku Baduy Dalam, masakan menu daging ayam merupakan makanan mewah, meskipun banyak ayam kampung berkeliaran. Makanan olahan ayam hanya tersedia saat acara pernikahan dan kelahiran.

6. Belajar Bertahan Hidup dari Alam

Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal sistem pendidikan formal dan oleh karenanya adat melarang anak-anak mereka untuk bersekolah.

Mereka meyakini bahwa jika orang Baduy Dalam bersekolah, mereka akan menjadi pintar dan orang pintar akan merusak alur hidup yang telah ditetapkan oleh kuruhun (leluhur).

Meskipun tidak memiliki pendidikan formal, ada beberapa anggota masyarakat Baduy yang mengenal membaca, menulis, dan berhitung.

Mereka belajar dari orang luar yang datang ke Baduy Dalam. Beberapa anak Baduy dalam bahkan kini sudah mampu menulis sendiri dengan menggunakan huruf latin yang mereka tulis dengan arang pada kayu-kayu yang tersedia.

Nah, dalam hal perhitungan, tak disangka ternyata mereka memiliki pemahaman dasar tentang penghitungan uang untuk kegiatan jual beli.

Sementara itu, pendidikan yang diterima oleh masyarakat Baduy Dalam lebih banyak disampaikan melalui kisah hidup yang diceritakan oleh orang tua mereka, terutama tentang butul karuhun (larangan leluhur) dan bagaimana memanfaatkan alam sekitar untuk bertahan hidup.

7. Tradisi Upacara Seba Orang Kanekes

Salah satu warisan budaya yang masih bertahan di zaman now dari Orang Kanekes adalah upacara seba yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai Seba Baduy.

Seba yang berarti persembahan, merupakan rangkaian upacara tradisi adat yang dilakukan setelah Kawalu dan Ngalaksa yakni melaksanakan puasa kawalu dan bersilaturahmi kepada kerabat dan tetangga dengan membawa hasil panen atau membuat makanan Laksa.

Seba merupakan perwujudan ketaatan Orang Kanekes kepada pemerintah Republik Indonesia yang secara simbolis dilakukan kepada kepala daerah yaitu Bupati Lebak, Bupati Pandeglang dan Gubernur Banten. Seba ini konon telah dilaksanakan sejak jaman dulu ketika Kesultanan Banten masih berjaya.

Adapun makna yang terkandung dari penyerahan hasil bumi ini adalah penegasan bahwa Orang Kanekes adalah masyarakat petani yang amat sangat tergantung dari kondisi alam dan lingkungan sekitarnya.

Oleh karena itu, kesempatan Seba tersebut juga digunakan oleh Orang Kanekes untuk menitipkan pesan kepada bupati atau gubernur tentang pentingnya menjaga nilai-nilai warisan leluhur serta menjaga kelestarian alam dan menjaga lingkungan hidup dengan baik.

8. Patuh dan Taat Pada Aturan

Kehidupan masyarakat Suku Baduy Dalam dalam keseharian selalu berpegang pada aturan utama yang telah ditetapkan dalam bentuk pikukuh karuhun.

Aturan tersebut adalah konsistensi dalam pengaturan ruang yang telah menjadi kebijakan, yakni menjaga kawasan hutan untuk perlindungan lingkungan dan kawasan budidaya untuk lahan pertanian dan pemukiman.

Beberapa aturan larangan adat yang mengatur hubungan masyarakat dengan lingkungan antara lain adanya larangan merubah alur air, seperti membuat kolam ikan, mengatur drainase, atau mendirikan irigasi dan bendungan.

Masyarakat setempat juga dilarang masuk ke hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan lainnya. Termasuk dilarang menebang pohon secara sembarangan.

Lalu, ada larangan menggunakan bahan-bahan kimia, seperti penggunaan pupuk, obat hama, minyak tanah, sabun mandi, pasta gigi, maupun racun ikan. Juga dilarang memelihara hewan ternak berkaki empat, seperti kambing, sapi, atau kerbau dan kalau bertani harus sesuai dengan ketentuan adat.

Keberadaan aturan semacam ini menjadikan hutan di lingkungan dan alam Suku Baduy tetap terjaga, lestari, dan utuh hingga saat ini.

Sampai disini, masyarakat Suku Baduy telah berhasil menciptakan harmoni antara kegiatan pertanian dan perlindungan lingkungan melalui kepatuhan terhadap aturan adat yang telah diwariskan secara turun temurun.

Salam Literasi,

Ade Setiawan, 10.02.2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun