Mohon tunggu...
Adella Diva Rahmadian
Adella Diva Rahmadian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A dreamer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semangkuk Bubur untuk Bapak

12 Desember 2022   02:43 Diperbarui: 12 Desember 2022   06:20 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

PRANGGGG!!!!

Suara benda pecah belah terdengar nyaring dari dalam sebuah  ruangan berukuran 6060 meter. Tak lama setelah itu, turut terdengar suara tinggi seseorang yang sedang memaki.

"Panas, bodoh! Ga punya otak kau memberi makan bapakmu dengan bubur mendidih kayak gini!?", hardik seorang lelaki paruh baya berusia 65 tahun bernama Toyo.

"Ini ga panas kok, pak, barusan 'kan sudah saya dinginkan terlebih dahulu", ujar Hardi, anak dari lelaki tersebut.

"Aku ga mau makan!!! Bosan betul rasanya setiap saat makan bubur terus"

"Bapak masih harus minum obat, jadi makan yang teratur ya, pak. Supaya cepat sembuh", Hardi berusaha membujuk sang bapak dengan suara halus.

"Halah, persetan dengan obat! Minum obat sebanyak apapun ga akan bisa mengubah kondisiku. Tetap saja aku lumpuh san pesakitan seperti ini!"

Hati Hardi tercabik-cabik mendengar ucapan bapaknya barusan, pedih rasanya mendengar kalimat keputusasaan Toyo untuk berjuang sembuh. Batinnya tiba-tiba terasa sangat lelah, sudah hampir 5 tahun terakhir ia sabar merawat sang bapak yang lumpuh tak berdaya.

Bukan sekali dua kali ia mendapat cacian dari bapaknya, justru cacian tersebut telah menjadi makanannya sehari-hari, hingga Hardi merasa bahwa cacian tersebut sudah sangat akrab di telinganya.

Sejak kecelakaan kerja yang membuat kakinya diamputasi serta vonis dokter yang mengatakan bahwa Toyo mengidap kanker otak, Hardi menjadi orang pertama yang akan selalu ada dan sabar merawat Toyo, yang hanya bisa duduk tak berdaya di atas kursi roda. Ia rela mengabdikan diri untuk bapaknya, melupakan impiannya, juga merelakan pekerjaannya.

Hardi adalah pria berusia 32 tahun yang dulunya bekerja sebagai karyawan swasta di pabrik tekstil termahsyur di kota seberang. Ia dikenal sebagai pemuda yang sopan, telaten, dan juga memiliki ketekunan luar biasa.

Konon, ia bisa berkuliah berkat ketekunannya dalam mencari biaya sendiri, bekerja paruh waktu, menjadi kurir antar barang, kuli panggul di pasar, semua ia lakukan agar dapat mengecap pendidikan jenjang perguruan tinggi. Alhasil, selama kuliah ia tak pernah meminta uang dari kedua orangtuanya, barang sepeser pun. Setelah tamat kuliah, dua tahun berikutnya ia diterima kerja di pabrik tekstil. Etos kerja yang tinggi membuat dirinya disenangi oleh para atasan dari perusahaan tersebut. Hardi menjadi orang terpercaya di lingkungan tempatnya bekerja.

Namun, semuanya berubah saat musibah menimpa bapaknya. Setelah itu, disusul kematian sang ibu yang ternyata mengidap penyakit diabetes. Alhasil, hanya Hardi dapat diandalkan untuk menjaga Toyo. Dengan berat hati, ia pun memundurkan diri dari pabrik tempatnya bekerja. Kakak Hardi yang berusia enam tahun lebih tua darinya, memilih untuk bekerja di Vietnam demi membantu perekonomian mereka.

Setelah lamunan yang panjang, akhirnya Hardi tersadar. Ditatap wajah sang bapak yang sedang terdiam sambil memandangi kedua kakinya yang telah diamputasi. Hardi menarik napas panjang, kemudian terbesit sebuah ide jitu di benaknya untuk membujuk bapak agar mau makan.

"Bapak mau saya belikan pisang goreng Mpok Yati?", tanya Hardi.

Bak sihir yang sakti, wajah Toyo yang semula lesu berubah menjadi sumringah.

"Mau! mau sekali aku! Cepat sana belikan!"

"Saya akan belikan kalau setelah makan pisang goreng nanti, bapak akan makan buburnya"

Toyo mendengus kesal. Seperti biasa, ini adalah siasat Hardi yang digunakan agar dirinya kembali mau makan. Karena Toyo amat sangat menyukai pisang goreng, maka tak ayal jika ia menyetujui ucapan anaknya.

"Iya iya, habis itu bapak makan. Sudah sana cepat belikan sekarang!", jawab Toyo dengan setengah hati.

"Oke, kalau gitu saya belikan sekarang. Bapak tunggu di sini ya", Hardi pun bergegas menuju warung gorengan milik Mpok Yati.

*****

Di perjalanan pulang dari warung Mpok Yati, tiba-tiba saja ponsel Hardi berdering. Seseorang meneleponnya.

Dengan segera, Hardi pun menjawab telepon tersebut.

"Selamat pagi. Halo, pak?"

Diketahui bahwa yang menelponnya saat ini adalah manajer pabrik di tempatnya bekerja dulu.

"Pagi, Hardi. Apa kabar? sudah lama gak ketemu ya kita"

"Alhamdulillah kabar saya baik, bapak juga gimana kabarnya? terakhir kita bertemu sudah 3 tahun lalu ya, pak. Tidak terasa"

"Keadaan saya sangat baik, Hardi. Oh iya, omong-omong bagaimana keadaan bapakmu?"

Hardi menghela napas sejenak.

"Bapak sehat, hanya saja sakit di kepalanya masih sering kambuh, pak"

"Oh begitu rupanya. Sebenarnya niat saya menelepon ingin bertemu denganmu. Ada yang ingin saya bicarakan, apa akhir pekan ini kamu punya waktu luan?"

"Oh! akhir pekan ini ya, pak? Sejauh ini rutinitas saya hanya menjaga bapak dan bekerja paruh waktu di hari senin sampai jumat, jadi Insya Allah akhir pekan ini saya bisa, pak"

"Baiklah, kalau begitu kita bertemu di hari Sabtu. Saya tunggu di kedai kopi langganan kita, ya, Di"

"Oh iya, pak"

"Kalau gitu saya tutup teleponnya ya, Di"

"Iya, pak"

Setelah sambungan telepon terputus, tanda tanya besar seketika muncul dalam benak Hardi. Sebenarnya, apa yang ingin dibicarakan mantan manajernya itu sampai mereka harus bertemu, setelah sekian lama tak saling berkabar.

Hardi pun kembali melanjutkan langkah kakinya menuju rumah, teringat bapak yang sedang menunggu pisang goreng yang telah ia beli tadi.

*****

Sesampainya di rumah, Hardi segera menyajikan pisang goreng tersebut untuk bapaknya. Terlebih dahulu ia meletakkannya di atas sebuah piring. Toyo menatap pisang goreng itu dengan berbinar. Matanya bahkan tak berkedip barang sekali.

Dengan telaten, Hardi pun menyuapkan pisang goreng tersebut ke dalam mulut bapaknya. Wajah Toyo terlihat berbeda dari beberapa menit lalu, yang sebelumnya terlihat jengkel, kini wajah Toyo terlihat menjadi lebih bersahabat karena menikmati pisang goreng kesukaannya.

Setelah pisang goreng tandas tak bersisa, mau tak mau Toyo pun harus menepati janjinya untuk kembali menelan bubur yang pagi tadi dibuat oleh Hardi. Meski sebenarnya menolak, namun ia tetap membuka mulut saat Hardi mengarahkan sesuap bubur ke dalam mulutnya.

*****

Saat akhir pekan tiba, Hardi menepati janji untuk bertemu mantan manajernya itu. Masih dengan tanda tanya besar yang memenuhi kepalanya, Hardi melangkahkan kaki menuju kedai kopi di persimpangan jalan, 600 meter dari rumahnya. Dahulu, saat ia masih bekerja di pabrik, Hardi sering menghabiskan waktu bersama manajernya itu, bahkan tak jarang sang manajer mentraktirnya segelas kopi.

Sesampainya di sana, Hardi langsung menemui mantan manajernya. Seorang laki-laki berusia lima puluhan, mengenakan kemeja coklat dengan celana bahan hitam. Perawakannya masih sama seperti enam tahun lalu, sangat berkharisma.

"Halo, Hardi. Sini duduk!", ucap mantan manajer itu begitu melihat kehadiran Hardi.

"Oh iya, pak"

"Pesan makan dulu, kamu mau pesan apa, Di?"

"Ah nggak usah, pak. Terima kasih, kebetulan saya sudah makan tadi"

"Yaudah kalau gitu pesan kopi saja, gih!"

Hardi menurut, ia kemudian memesan segelas kopi susu. Tak menunggu waktu lama, akhirnya segelas kopi itu datang. Asap masih riuh mengembul di atasnya.

"Gimana keadaan bapakmu?", tanya sang mantan manajer tiba-tiba.

Pertanyaan tersebut spontan saja mengingatkan Hardi pada perkataan dokter yang menangani bapaknya tiga hari yang lalu. Saat itu kondisi Toyo tiba-tiba saja memburuk, ia mengeluhkan rasa sakit kepala yang teramat sangat. Oleh karena itu, Hardi segera membawa bapak ke rumah sakit. Dokter berkata bahwa Toyo harus segera diberi tindakan, karena sel kanker telah menyebar di tubuhnya. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan tersebut jumlahnya tidak sedikit, hingga Hardi hanya mampu termenung saat mengetahuinya.

"Keadaan bapak akhir-akhir ini sedang memburuk, pak"

Mantan manajernya itu hanya menatap Hardi dengan iba. "Sebenarnya ada hal penting yang ingin saya bicarakan"

"Tentang apa, pak?"

"To the point saja ya, Hardi. Sebenarnya sejak lima bulan belakangan ini, pabrik sedang kekurangan karyawan yang berkompeten dan ulet. Banyak karyawan yang saya berhentikan karena etos kerja mereka rendah, mereka hanya membawa dampak buruk bagi perusahaan."

Hardi terlihat serius mendengarkan.

"Itulah sebabnya beberapa waktu lalu saya meneleponmu. Saya butuh karyawan sepertimu untuk bekerja di pabrik tersebut"

Mendengar ucapan tersebut, Hardi belum mampu memberikan tanggapan apapun.

"Gimana, Di? Kamu mau bekerja di pabrik lagi?"

"Maaf, pak. Sejujurnya saya tidak memiliki alasan apapun untuk menolak tawaran itu. Namun, seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, bapak saya masih membutuhkan saya"

"Iya saya tahu, tapi kamu ngga perlu khawatir. Saya tidak akan membuatmu menelantarkan bapakmu itu. Urusan bapakmu, biar saya yang menjaminnya. Jika kamu menerima tawaran ini, saya pastikan bahwa kondisi bapakmu akan aman"

"Selama kamu bekerja di pabrik nanti, saya akan sewa perawat yang sudah sangat saya pecayai. Lalu, setiap bulannya nanti, kebutuhan bapakmu akan saya tanggung. Saya akan mengirim uang untuk bapakmu sebulan sekali, tapi tenang saja, gajimu tidak akan terganggu"

"Maaf, pak. Tapi semua ini bukan tentang materi, ini tentang bakti seorang anak kepada orang tuanya. Apalagi kini orang tua yang saya miliki hanya bapak seorang", ujar Hardi.

"Saya paham. Tapi kamu pun harus paham, dengan kamu bekerja bukan berarti kamu tidak berbakti pada bapakmu. Di, maaf sekali jika saya harus mengatakan ini, bapakmu itu tidak hanya membutuhkan bakti berupa kasih sayangmu saja, lebih dari itu, bapakmu juga butuh biaya untuk kesehatannya, untuk terus bertahan hidup"

Hardi tercenung. Dalam hati, ia membenarkan perkataan mantan manajernya itu. Terlebih bayangan keadaan bapak yang sedang memburuk akhir-akhir ini semakin membuat Hardi merasa dilema.

"Kamu tenang saja, Di. Saya akan menjamin kondisi dan kebutuhan bapakmu. Bagaimana?"

Hardi sangat mengenal baik sosok di hadapannya saat ini. Mantan manajernya itu tak pernah main-main dengan ucapan yang telah keluar dari mulutnya. Sekali berkata, ia pasti akan menepati perkataannya itu.

"Begini saja, saya akan mengunjungi bapakmu setelah ini. Jika situasi dirasa memungkinkan, biar saya yang berbicara mengenai hal ini kepada bapakmu. Gimana?"

Tak ada yang bisa dilakukan Hardi setelah mendengar hal tersebut selain menyetujuinya.

*****

Sore itu, dunia Hardi seperti berubah seratus persen. Setelah mantan manajernya itu menemui bapak dan berbincang bersama, tanpa diduga bapak justru terlihat senang sekaligus bangga mendengar anak bungsunya akan kembali bekerja. Mantan manajer Hardi dan Toyo sebenarnya telah saling mengenal dan memiliki hubungan yang baik. Oleh sebab itu, saat si mantan manajer menuturkan maksud dan tujuannya, Toyo telah sepenuhnya mempercayai ucapan pria itu.

Hari ini Hardi sedang menunggu sebuah mobil yang akan datang untuk menjemputnya. Sebelum berkemas, ia terlebih dahulu menyuapi bapaknya dengan semangkuk bubur. Setelah itu, seorang perawat datang ke rumahnya. Perawat tersebut merupakan orang yang dipercayai oleh manajernya itu. Sejak tadi, Hardi merasakan sesuatu yang janggal. Ia bahkan nyaris tak mendengar makian bapaknya sejak sore itu. Kini, Toyo terlihat lebih tenang.

Setelah 15 menit, mobil jemputan Hardi tiba. Ia pun bergegas pamit kepada bapak.

"Pak, aku pamit dulu, ya"

"Hati-hati, jangan lupakan aku, ya! Jika senggang, pulanglah kemari", ujar Toyo dengan wajah datar.

"Iya, pak. Saya pasti akan sering pulang untuk membuatkan bapak semangkuk bubur"

*****

2 tahun kemudian.

"Maaf, pak. Bulan ini saya belum bisa pulang ke rumah karena wilayah pabrik di-lockdown", ucap Hardi melalui telepon.

Sejak pandemi Covid melanda Indonesia, segala mobilitas menjadi sangat terbatas. Hardi yang biasanya pulang ke rumah setiap dua minggu sekali, kini bahkan tak dapat pulang sama sekali karena pemerintah menerapkan lock-down. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menjaga protokol kesehatan.

"Iya, nggak masalah. Bapak juga baik-baik di sini sama si mbak perawat"

"Syukurlah. Bapak jangan lupa untuk kontrol ke rumah sakit setiap dua minggu ya. Si mbak nemenin, kan?"

"Iya. Aih, kenapa kamu jadi bawel banget, sih! Tenang aja, bapak bisa menjaga diri"

"Iya iya, aku percaya, kok"

"Yasudah, sana kembali kerja. Pokonya kalau kau pulang nanti, jangan lupa buatkan aku semangkuk bubur"

"Loh? Emangnya si mbak ga buatkan bubur untuk bapak?", Hardi merasa heran

"Dibuatkan, hanya saja rasanya beda. Tak seperti rasa bubur buatanmu. Enak, sih, tapi seperti..ah entahlah, pokoknya beda dengan rasa bubur buatanmu"

Hardi hanya dapat terkekeh mendengar ucapan bapaknya itu.

"Iya, pak. Nanti kalau keadaan sudah membaik, aku buatkan bubur untuk bapak"

*****

2 tahun berikutnya.

Setelah dua tahun lamanya, Indonesia akhirnya memasuki fase post-pandemi. Mobilitas lambat laun kembali berjalan normal, bisa dikatakan bahwa situasi ini merupakan situasi new-normal. Hari ini, Hardi akan pulang ke rumahnya. Sangat bahagia rasanya kembali berjumpa dengan bapak setelah dua tahun tak bertemu dan hanya bertukar kabar melalui telepon.

Hardi hendak menghubungi bapaknya saat tiba-tiba sebuah panggilan masuk.

"Halo, pak? Baru aku mau telepon"

"Hardi, ini aku"

Lelaki itu mengernyitkan keningnya, sedikit terkejut dengan suara dari balik telepon itu.

"Ka-kak?"

"Iya. Pulang ya, Di. Bapak...", suara itu terhenti, membuat jantung Hardi tiba-tiba berdegup kencang.

"Bapak kenapa?"

"Bapak sudah berpulang, Di. Padahal pagi tadi saat kakak sampai di rumah, bapak masih bercerita ingin segera makan bubur buatanmu. Kamu cepat, pulang ya. Sebelum sore bapak akan dikebumikan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun