Tak lama setelah mentari terbit di ufuk Timur, pesawat Lion AIR JT 888 yang membawa kami dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar pukul 06.00 WITA tiba di Bandara Pattimura Ambon pukul 09.00 WIT, Jumat 19 Desember 2024. Â Â
Saya duduk di kursi depan (3A) sehingga cepat turun dari pesawat. Saya memesan mobil (maxim) online untuk ke Tahoku. Tidak sampai 10 menit, mobil pesanan saya tiba.Â
Tetapi, ia tidak bisa masuk ke dalam, sehingga saya harus ke luar bandara. Dan, saya juga tak bisa naik mobil di sana karena dihalangi seorang driver (motor) off line. "Tidak boleh driver online ambil penumpang di sini", kata dia.
Saya berjalan menuju rumah makan (Barokah). Dari sana saya menhubungi driver maxim. Setelah dia datang kami jalan menuju ke Tahoku sekitar pukul 9.30. Dalam perjalanan, adik saya Wati menelpon.Â
Dia minta untuk dijemput di pinggir jalan dekat pangkalan speed boat Wayame. Sekitar 15 menit kemudian kami tiba di sana, lalu lanjut ke Tahoku lewat jalan pintas (potong gunung: Laha -- Poka -- Taenu -- Wakal - Â Tahoku). Jalur itu lebih cepat dari jalur yang lama (Laha -- Durian Patah -- Hitu -- Tahoku).Â
Sekitar pukul 11.00, mobil kami tiba di Tahoku. Ibu dan adik saya (Zul) serta paman menanggu kami di serambi (teras) rumah Bapak Sarmin Salisu.Â
Selama tiga hari di Tahoku (20-23 Desember), saya mengamati aktivitas pelabuhan Tahoku dan berinteraksi dengan orang-orang di sana. Saya juga berdiskusi dengan anggota grup "Holimombo Bersatu", pada 23 Desember antara pukul 11.33 hingga 11.50 WIT.
Hasilnya saya mendapatkan informasi mengenai pelabuhan Tahoku dan aktivitas penduduk dari 19 Dusun (dari Kecamatan Hoamual) di pelabuhan tersebut.
Sembilanbelas dusun yang dimaksud meliputi (1) Ulatu, (2) Tapinalo, (3) Erang, (4) Temi, (5) Limboro, (6) Lirang, (7) Nasiri, (8) Kambelo, (9) Talaga, (10) Mangge-mangge, (11) Losy, (12) Amaholu, (13) Hatawano, (14) Asam Jawa, (15) Batu Lubang, (16) Ely Jaya, (17) Ely Kampung Tiga, (18) Ely Besar, dan (19) Air Papaya, kata Dr. Muhajir Abdul Rahman, M.Pd.I, dosen IAIN Â Ambon dan juga putra Dusun Talaga.Â
Peranan Pelabuhan TahokuÂ
 Pelabuhan Tahoku merupakan pelabuhan utama bagi speed boat dan kapal-kapal kecil dari pesisir barat Hoamual, atau bisa dikenal dengan sebutan "19 Dusun".Â
Tahoku tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlabuh, tetapi juga simpul perjumpaan lintas budaya di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon, dan sekitarnya. Hampir semua pelayaran menuju 19 Dusun melewati pelabuhan ini.
Pelabuhan ini dilengkapi dengan sebuah dermaga kecil yang memanjang dan menjorok ke laut sejauh kira-kira 50 meter berbentuk huruf T. Panjang ujungnya sekitar 20 meter dan lebar 4 meter.Â
Ruas jalan dermaga sekitar 3 meter, maka gerobak mudah membawa barang ke speed boat atau sebaliknya membawa barang dari kapal ke mobil. Â
Saya menyaksikan bahwa sejak pagi dermaga sudah ditempati oleh warga setempat untuk memancing ikan. Mereka menggunakan alat pancing biasa dari tasi dan kail yang digulung pada sebatang kayu.Â
Umpannya diambil dari ikan-ikan kecil yang ada di sana. Ada yang menggunakan seekor ikan yang masih hidup, lalu dikaitkan dengan matakail, lalu dilembar sejauh antara 5 hingga 15 meter dari dermaga.Â
Ada pula yang memotong ikan-ikan itu berukuran kecil yang dikaitkan pada mata kail lalu dibuang sekitar dermaga. Bila ada yang berhasil mendapatkan ikan, maka yang lain memberikan sorak-ria. Itulah kondisi dermaga di pagi hari.
Lalu, mulai kira-kira pukul 09.00 WIT speed boat dari Jazirah Hoamual berdatangan. Begitu pula mobil-mobil yang membawa penumpang dan barang dari Kota Ambon juga tiba di kawasan ini.Â
Bahkan, saya melihat beberapa mobil sudah parkir di sana sejak pagi, sebelum speed boat tiba. Buruh0buruh pelabuhan juga bersiap. Sambil menunggu speed boat tiba, biasanya mereka duduk berbincang dengan siguhan kopi dan snak.Â
Puncak kesibukan pelabuhan ini sebelum dan setelah Idul Fitri.Â
"Masa paling ramai di Hari Raya Idul Fitri. Ribuan orang mudik lewat Tahoku. Kalau tiga hari sebelum lebaran, biasanya speed boat balik dua kali. Kalau ke Luhu, hanya satu body di hari biasa, dan kalau musim mudik antara tiga sampai empat body. Ini berlaku pada satu minggu sebelum lebaran", kata Sarmin Salisu (pensiunan Guru SMA 2 Namlea), yang tinggal di Tahoku sejak tahun 1999. Â Â
Mengapa Memilih Tahoku?Â
Sebelum pelabuhan Tahoku ramai disinggahi oleh perahu motor, kapal kayu kecil, dan (kemudian) speed boat dari 19 Dusun, kapal-kapal motor dari 19 Dusun langsung masuk di pelabuhan Ambon.Â
Rutenya dari pesisir menuju Tanjung Sial, kemudian menuju Tanjung Alang melewati Pulau Tiga, sampai akhirnya tiba di pelabuhan Ambon. Tempat sandarnya berubah pasca konflik Ambon 1999, yakni di pelabuhan (laskar) Batu Merah.
Berlabuh di Kota Ambon memang sangat baik. Penumpang tiba di kota dan para pedagang bisa langsung menjual barangnya kepada saudagar setempat, atau menjajakan barang-barang di sana antara Batu Merah dan Pasar Mardika.
Tetapi, bila kondisi laut tidak bersahabat, terutama pada akhir dan awal tahun, kapal-kapal motor dari pesisir tidak bisa masuk ke Ambon.Â
Kapal-kapal itu sangat sulit menembus amukan ombak dan gelombang di Tanjung Sial dan Tanjung Alang, yang biasanya terjadi sekitar satu bulan.
Menyikapi kondisi ini, para nakhoda dan awak kapal motor berupaya mencari alternatif lain, dengan tetap melewati Tanjung Sial lalu masuk di selat antara ujung barat Pulau Seram dan Pulau Ambon menuju Teluk Leihitu. Jalur ini bisa dilewati hampir sepanjang tahun, kecuali ombak dan gelombang ekstrim.Â
Tanjung Sial menyimpan ingatan kelam di masa lalu bagi masyarakat 19 Dusun. Pada awal tahun 1990-an, sebuah kapal motor "Batam Jaya" milik Bapak Abu Tahir dari Limboro mengalami kecelakaan di kawasan itu. Saat itu, ayah, ibu, dan adik saya (alm. Yasir Hamid) ikut dalam pelayaran tersebut, dan Alhamdulillah mereka selemat.
Namun, seorang keluarga ibu saya, Wa Sahidi (putri Bapak Samuna dan Ibu Wa Aminah) tak dapat diselamatkan, serta korban lainnya.Â
Itulah sebabnya, saat melintasi tanjung tersebut, keluarga almarhumah akan membuang bahan makanan atau minuman ke dasar laut sebagai "persembahan" atau ikatan memori kejadian di masa silam. Â Â
Kembali pada pertanyaan di atas, bahwa faktor alam dan keselamatan navigasi menjadi faktor pertama bagi pentimbangan penduduk dari 19 Dusun memilih untuk berlabuh di Tahoku.
Selain itu, faktor kedua, juga karena faktor kultural, bahwa sebagian penduduk di Tahoku adalah orang atau keturunan Buton. Ini menjadi daya tarik khusus sebagai sesama orang Buton.Â
Beraktivitas di sana berati mereka akan bertemu sesama Buton. Menu khas Buton, misalnya Sangkola atau Kasoami, dijajakan oleh orang-orang Buton di Tahoku. Semua itu menambah daya tarik untuk berlabuh di Tahoku.
Faktor ketiga adalah akibat konflik (kerusuhan) Ambon pada tahun 1999. Orang-orang dari 19 Dusun dan sekitarnya sulit masuk Ambon, apalag jika harus melewati Alang, yang penduduknya beragama Kristen.
Sentimen keagaman dalam konflik Ambon menjadi pembatas hubungan antar kelompok/agama di Ambon. Memilih lokasi yang penduduknya seagama menjadi satu pertimbangan penting.Â
Dalam hal ini, Jazirah Leihitu yang dahulu di bawah Kerajaan Hitu, mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Konflik Ambon 1999, Tonggak Kemajuan Tahoku
Konflik 1999 tidak hanya menjadi pemacu perubahan jalur perahu dan kapal-kapal motor dari pesisir Hoamual (belakang dan depan), tetapi juga menjadi babak baru bagi sejarah pelabuhan Tahoku, yang saya sebut sebagai tonggak kemajuan Tahoku.
Perahu dan kapal-kapal dari Hoamual depan sepeti Laiela, Saluku, Waiputi, Wailapia, Lauma, Kasawari, dan Tuhulesi pun merubah pangkalannya, yang semula berlabuh di Pelabuhan Kaitetu, dekat Benteng Amsterdam, kemudian bongkar dan muat di Pelabuhan Tahoku, kata Sarmin Salisu.
Hasilnya, Tahoku tumbuh menjadi pusat ekonomi lokal di Jazirah Leihitu. Kehadiran kapal-kapal dari Hoamual dimanfaatkan oleh penduduk setempat dan para pedagang untuk membuka usaha dan pertokoan.
Kondisi ini juga diikuti oleh pemusatan, atau pangkalan (sementara) bagi mobil-mobil penumpang di area pelabuhan Tahoku.
Mulai dari pasca konflik 1999, banyak toko dibuka di Tahoku yang menyediakan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh penduduk Hoamual. Kesibukan toko-tokoh itu pun seirama dengan waktu kedatangan dan keberangkan kapal dan speed boat dari Hoamual.
Kaum buruh di pelabuhan Tahoku umumnya adalah orang negeri dari Tohoku dan daerah sekitarnya di Jaziarah Leihitu. Kendati mereka berbahasa lokal, namun dalam berinteraksi dengan penduduk dari Hoamual, mereka biasanya menggunakan bahasa Indonesia dialek Ambon atau "Malayo Ambon". Â
Pelabuhan Tahoku pun menjadi satu simpul penting dalam hubungan lintas budaya di Jazirah Leihitu, juga tempat menyemaikan bahasa Indonesia (Malayo Ambon).
Sekilas Pelabuhan Tahoku
Pada mulanya, Tahoku hanyalah tempat persinggahan perahu dan kapal kecil dari Hoamual di Jazirah Leihitu. Tidak ada dermaga, seperti yang kita lihat sekarang. Dahulu, sekitar akhir tahun 1970an atau pada 1980an, perahu dan kapal berlabuh di tepi pantai sekitar muara kali di Tahoku.
Alasan memilih daerah sekitar muara kali itu mudah dipahami. Awal perahu dapat mengambil air bersih, setelah perahu dan kapalnya tiba di sana. Begitu pula penumpang bisa membersihkan diri, sebelum melanjutkan perjalanan mereka dengan mobil menuju Kota Ambon.
Pada tahun 1995, saya pernah singgah di pantai Tahoku dengan perahu katintin milik Bapak La Mataraa dari Asamjawa. Waktu itu, saya ikut ibu ke Kota Ambon untuk menjual hasil bumi kami dan warga Dusun Temi.Â
Kami singgah di sekitar muara sungai Tahoku (yang punya jembatan besar sekarang). Setelah menurunkan barang, kami mandi di kali, lalu naik mobil ke Ambon.
Barang-barang tersebut dijual di Pasar Batu Merah. Setelah tiba di pasar, Ibu langsung membawa saya ke rumah keluarga di OSM. Lalu, ia kembali ke pasar dan berjualan sepanjang hari.
Entah mengapa, setiap kali saya ikut ibu ke Kota Ambon untuk berjulan, saya tidak pernah diberikan waktu/kesempatan untuk berjualan, atau melihat ibu jualan di pasar. Mungkin, ibu tak ingin saya menjadi penjual yang biasa mendapatkan uang, seperti sebagian siswa dari kampung kami di kota.Â
Karena asyik berjuaan dan bisa mendapat uang sendiri, tak jarang mereka mengabaikan urusan sekolahnya, dan tak jarang pula ada yang putus studi. Atau, jika tetap lanjut sampai tamat, hasil belajar mereka seadanya.
Tahun 1997, saya masuk ke Kota Ambon, juga ikut ibu yang pergi berjualan. Kali ini, saya tidak lama berada di OSM, karena harus mendaftar dan kemudian masuk sekolah di STM Waiheru (sekarang SMK 3) Ambon, dengan dihantar oleh paman saya, Abang Ramusi (keluarga dari ibu saya). Saya sekolah di sana sampai meletus konflik 99, dan saya pindah dan lanjut sekolah di STM Baubau (Betoambari) hingga tahun 2000.
Kembali pada rihlah (sejarah) pelabuhan Tahoku. Sejak tahun 1980an, perahu dan kapal-kapal kecil dari Hoamual singgah di pelabuhan Tahoku. Sektar dua dekade terakhir, perahu dan kapal itu digandikan oleh speed boat dengan kecepatan tinggi, sehingga waktu tempuh bisa lebih cepat antara 3 sampai 5 jam untuk menyisir dan tiba di 19 Dusun Hoamual barat/belakang.
Sekarang, sudah ada jalur alternatif menuju 19 Dusun, yakni melalui Luhu dan Gunung Malintang ke pesisir atau sebaliknya, selanjutnya disebut Jalur Luhu.Â
Kalau dari pesisir, orang-orang naik motor atau mobil dari pesisir melintasi Gunung Malintan menuju Luhu, lalu naik speed boat ke pelabuhan Tahoku, selanjutnya naik mobil ke Kota Ambon. Begitu pula sebaliknya. Namun, jalur ini hanya digunakan oleh sedikit orang saja.
Jalur Luhu dipilih terutama ketika kondisi laut tidak bersahabat untuk melintasi Tanjung Sial. Ada kendala di jalur ini, yakni kondisi buruk jalan lintas Gunung Malintang menuju pesisir, dan sebaliknya.
Setengah abad pelabuhan TahokuÂ
Kalau dihitung dari akhir tahun 1970an atau awal 1980an, maka sudah kurang lebih setengah abad Tahoku menjadi pintu masuk orang-orang Buton dari pesisir barat Hoamual ke Kota Ambon.Â
Selama itu pula, Tahoku menjadi simpul lintas budaya antara orang Buton dengan orang-orang negeri di Jazirah Leihitu dan Kota Ambon.
Pelabuhan Tahoku menjadi simpul perjumpaan budaya dari penduduk tiga kabupaten/kota di Provinsi Maluku, yakni Kab. Seram Bagian Barat, Kab. Maluku Tengah, dan Kota Ambon.
Kalau bukan karena semangat keterbukaan, saling percaya, dan harmoni yang tinggi dari kedua belah pihak, maka tidak mungkin hubungan ini terpelihara dengan baik begitu lama sampai sekarang.
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa, bukan tidak mungkin Tahoku di masa depan akan tumbuh menjadi kota kecil yang makmur di Jazirah Leihitu. Dan, pada waktunya, sejarawan akan mencatatnya. Â
Sabah Balau-Lampung Selatan, 29 Desember 2024
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada para informan, khususnya anggota WhatsApp Grup "Holimombo Bersatu", yang telah berbagi informasi penting mengenai Pelabuhan Tohuku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H