Puncak kesibukan pelabuhan ini sebelum dan setelah Idul Fitri.Â
"Masa paling ramai di Hari Raya Idul Fitri. Ribuan orang mudik lewat Tahoku. Kalau tiga hari sebelum lebaran, biasanya speed boat balik dua kali. Kalau ke Luhu, hanya satu body di hari biasa, dan kalau musim mudik antara tiga sampai empat body. Ini berlaku pada satu minggu sebelum lebaran", kata Sarmin Salisu (pensiunan Guru SMA 2 Namlea), yang tinggal di Tahoku sejak tahun 1999. Â Â
Mengapa Memilih Tahoku?Â
Sebelum pelabuhan Tahoku ramai disinggahi oleh perahu motor, kapal kayu kecil, dan (kemudian) speed boat dari 19 Dusun, kapal-kapal motor dari 19 Dusun langsung masuk di pelabuhan Ambon.Â
Rutenya dari pesisir menuju Tanjung Sial, kemudian menuju Tanjung Alang melewati Pulau Tiga, sampai akhirnya tiba di pelabuhan Ambon. Tempat sandarnya berubah pasca konflik Ambon 1999, yakni di pelabuhan (laskar) Batu Merah.
Berlabuh di Kota Ambon memang sangat baik. Penumpang tiba di kota dan para pedagang bisa langsung menjual barangnya kepada saudagar setempat, atau menjajakan barang-barang di sana antara Batu Merah dan Pasar Mardika.
Tetapi, bila kondisi laut tidak bersahabat, terutama pada akhir dan awal tahun, kapal-kapal motor dari pesisir tidak bisa masuk ke Ambon.Â
Kapal-kapal itu sangat sulit menembus amukan ombak dan gelombang di Tanjung Sial dan Tanjung Alang, yang biasanya terjadi sekitar satu bulan.
Menyikapi kondisi ini, para nakhoda dan awak kapal motor berupaya mencari alternatif lain, dengan tetap melewati Tanjung Sial lalu masuk di selat antara ujung barat Pulau Seram dan Pulau Ambon menuju Teluk Leihitu. Jalur ini bisa dilewati hampir sepanjang tahun, kecuali ombak dan gelombang ekstrim.Â
Tanjung Sial menyimpan ingatan kelam di masa lalu bagi masyarakat 19 Dusun. Pada awal tahun 1990-an, sebuah kapal motor "Batam Jaya" milik Bapak Abu Tahir dari Limboro mengalami kecelakaan di kawasan itu. Saat itu, ayah, ibu, dan adik saya (alm. Yasir Hamid) ikut dalam pelayaran tersebut, dan Alhamdulillah mereka selemat.
Namun, seorang keluarga ibu saya, Wa Sahidi (putri Bapak Samuna dan Ibu Wa Aminah) tak dapat diselamatkan, serta korban lainnya.Â