Kondisi ini juga diikuti oleh pemusatan, atau pangkalan (sementara) bagi mobil-mobil penumpang di area pelabuhan Tahoku.
Mulai dari pasca konflik 1999, banyak toko dibuka di Tahoku yang menyediakan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh penduduk Hoamual. Kesibukan toko-tokoh itu pun seirama dengan waktu kedatangan dan keberangkan kapal dan speed boat dari Hoamual.
Kaum buruh di pelabuhan Tahoku umumnya adalah orang negeri dari Tohoku dan daerah sekitarnya di Jaziarah Leihitu. Kendati mereka berbahasa lokal, namun dalam berinteraksi dengan penduduk dari Hoamual, mereka biasanya menggunakan bahasa Indonesia dialek Ambon atau "Malayo Ambon". Â
Pelabuhan Tahoku pun menjadi satu simpul penting dalam hubungan lintas budaya di Jazirah Leihitu, juga tempat menyemaikan bahasa Indonesia (Malayo Ambon).
Sekilas Pelabuhan Tahoku
Pada mulanya, Tahoku hanyalah tempat persinggahan perahu dan kapal kecil dari Hoamual di Jazirah Leihitu. Tidak ada dermaga, seperti yang kita lihat sekarang. Dahulu, sekitar akhir tahun 1970an atau pada 1980an, perahu dan kapal berlabuh di tepi pantai sekitar muara kali di Tahoku.
Alasan memilih daerah sekitar muara kali itu mudah dipahami. Awal perahu dapat mengambil air bersih, setelah perahu dan kapalnya tiba di sana. Begitu pula penumpang bisa membersihkan diri, sebelum melanjutkan perjalanan mereka dengan mobil menuju Kota Ambon.
Pada tahun 1995, saya pernah singgah di pantai Tahoku dengan perahu katintin milik Bapak La Mataraa dari Asamjawa. Waktu itu, saya ikut ibu ke Kota Ambon untuk menjual hasil bumi kami dan warga Dusun Temi.Â
Kami singgah di sekitar muara sungai Tahoku (yang punya jembatan besar sekarang). Setelah menurunkan barang, kami mandi di kali, lalu naik mobil ke Ambon.