Tak menunggu pertanyaan Shelly selanjutnya, Mira menarik tangannya. Bersama mereka menelusuri dinding waktu. Kemana mereka pergi, selalu saja lampu-lampu menyertai dan menemani mereka.
Perjalanan waktu kenangan akhirnya membawa mereka berdua sampai pada sebuah tempat di atas bukit. Mata mereka menyapu hantaran lembah yang penuh dengan kerlipan lampu-lampu kehidupan.
Pohon Akasia yang rindang siap menunggu. Di bawahnya terhampar bunga-bunga liar Meadows berwarna putih dan kuning sebagai alas selimut tempat mereka berbaring.Â
Kata Mira,’’ mari rebahkan kepalamu pada pangkuanku.’’
Sambil memainkan setangkai bunga Meadow kuning di antara jari-jarinya, Shelly merebahkan kepala pada pangkuan Mira. Pipinya menyentuh dinding perut Mira, terdengar ritme kisah yang siap dimainkan melodinya. Getar yang pernah ia rasakan dan dengar, tetapi entah dimana.
Sementara jari lentik Mira bermain di antara ruas rambut di kepala Shelly. Baru kali ini, untuk yang pertama kalinya Shelly melihat betapa Mira memiliki lancip dagu serta lesung pipi seperti dirinya.Â
Lampu-lampu misteri kehidupan tetap saja menerangi mereka berdua, dan juntai cabang pohon Akasia yang rindang seakan menari riang tertiup angin yang sepoi.
Alam memerintahkan Mira memulai kisahnya. Dari jauh terdengar parkit Semi bernyanyi mengiringi kisah Mira. Suaranya merdu mengalahkan denting solo musik piano.
Ujung kisahpun menjadi nyata.Â
Ketika Shelly hadir di dunia ini, Mira harus mengalah, pergi demi Shelly. Martha dan Jos yang tak asing lagi bagi Mira, sebab Martha adalah perawat dan Jos seorang dokter internis. Berdua mereka sepakat mengadopsi seorang bayi perempuan yang lahir prematur dari seorang perempuan piatu penderita gagal ginjal. Tak ada ayah, tak ada keluarga. Yang ada hanyalah tangan mereka berdua yang menjadi penyambung cinta dan kasih sayang dalam kehidupan baru bayi Shelly.
Mira tersenyum, Shelly pun tersenyum, lampu-lampu tersenyum, bunga-bunga di ladang pun menundukkan kepala, mereka memberi hormat.Â