“Shelly, tolong kosongkan keranjang sampah di dapur,’’ terdengar suara Martha dari ruang tamu.
Sementara suara burung parkit nyaring membelah hari baru. Pagi yang cerah, sinar mentari berbaris rapih masuk melalui celah kaca jendela dan gorden. Banyak partikel debu berterbangan di sana-sini ikut meramaikan.
Suara parkit terasa ribut menganggu pagi yang hikmat.
‘’Semi, stop!’’ perintah Martha pada parkit.
Martha masih asyik terus berbicara lewat telepon. Terdengar suara tertawa di seberang sana. Dien baru saja menceritakan kisah liburannya di Malta selama seminggu.
‘’Shelly!’’
Dien masih terus ingin melanjutkan cerita liburannya, tetapi Martha memotong, ‘’ udah deh kita ketemu aja biar asyik ceritanya.’’
‘’Minggu sore ya,’’ janji suara Dien di seberang sana.
Shelly masih juga terbaring  di atas tempat tidurnya ketika Martha membuka pintu.Â
‘’Shelly, ini sudah jam sembilan, ayo bangun, sebentar papa datang. Shelly, ayo ntar kita telat ke poli!’’
Namun Shelly tetap lelap tidur. Martha menghampiri tempat tidur Shelly. Kini, degup jantung Martha demikian cepatnya hingga terdengar keras memukul dinding kepala. Tubuh Shelly dingin, wajahnya pucat, bibirnya biru kehitam-hitaman, warna hitam mewarnai mata bagian bawah. Kuku jarinya putih, tak ada darah di sana.