Mohon tunggu...
Narendra Setya Nugraha
Narendra Setya Nugraha Mohon Tunggu... Editor - Seminaris

Seminaris Seminari Mertoyudan St.Petrus Canisius

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kepingan Baru

23 Maret 2024   09:34 Diperbarui: 29 Maret 2024   19:45 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pribadi/Rendra

"Wah, Pak Soelis belum pulang. Tadi saya sempat melihatnya menaiki angkot. Hendak ke Tidar mungkin."

"Oalah begitu toh. Terima kasih nggih pak."

"Iya nak."

Ke mana Bapak pergi? Katanya hendak mengamen sampai siang saja lalu beristirahat. Ah, mungkin Bapak sudah bangun dan hendak menikmati hutan Tidar itu. Yang banyak monyetnya. 

Setelah itu, aku pun meninggalkan angkringan itu dan kembali ke tempat yang aku sebut rumah, tetapi hanyalah sebuah bekas kos-kosan yang tidak dirawat oleh pemiliknya. Setidaknya, aku punya tempat untuk pulang.

Sesudah kejadian itu, Bapak sering kali pergi saat sore hari. Entah apa yang beliau lakukan. Aku pun hanya bisa bertanya-tanya dari jauh di dasar sanubari ini. Tak elok rasanya jika aku harus bertanya secara langsung dengannya. 

Pernah suatu siang aku mengikutinya secara diam-diam, tetapi sepertinya Bapak tahu bahwa aku mengikutinya, sehingga beliau tidak jadi pergi dan kembali pulang. Aku hanya bisa penasaran dengannya. Padahal hubungan kami sudah baik, amat baik, tetapi mengapa sekarang seperti ada jarak yang memisahkan kami? Ah, dunia ini aneh.

***

Sore ini aku kembali ke angkringan, di terminal. Seperti biasa aku memesan wedang jahe dan bertanya tentang bapak, kepada penjaga angkringan itu.

"Namanya juga orang tua, pasti ada keperluan. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, mungkin dia ingin merenung, atau sekadar menikmati kesendiriannya." Nasehat penjaga angkringan itu kepadaku.

Ada benarnya hal itu. Namun, Bapak adalah orang yang terbuka. Masakan ia selalu pergi secara diam-diam? Bukankah jika ada masalah sebaiknya dibahas secara bersama? Atau, apa urusanku terhadap Bapak? Ah, dialah Bapakku, aku seharusnya tidak perlu ikut campur. Namun, ia Bapak. Bapakku. Aku patut mengkhawatirkannya. Benar toh? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun