Mohon tunggu...
Narendra Setya Nugraha
Narendra Setya Nugraha Mohon Tunggu... Editor - Seminaris

Seminaris Seminari Mertoyudan St.Petrus Canisius

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kepingan Baru

23 Maret 2024   09:34 Diperbarui: 29 Maret 2024   19:45 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pribadi/Rendra

Dan malam itu aku terus memikirkan tentang Bapak. Seolah ada ikatan batin yang mengharuskanku memikirkan tentang Bapak. Ada apa dengan Bapak? Hanya ada satu cara yang dapat aku lakukan untuk mengetahuinya. Dan semoga, besok, aku dapat berhasil untuk menjalankan rencanaku. Dan aku menutup malamku dengan keyakinan yang mantap, aku yakin aku akan berhasil.

***

Mertoyudan? Apa yang hendak Bapak lakukan di Mertoyudan? Mengamen di kampus yang besar ini? Atau mengamen di sekolah pastor itu? Dari kejauhan, aku melihat Bapak turun dari angkot yang ia tumpangi. 

"Kiri pak!" Aku langsung menghentikan laju angkot yang aku tumpangi, membayar biaya perjalananku ini, dan aku langsung melompat ke luar. Ia berjalan ke utara. 

Aku mengikutinya, dari belakang. Ia berbelok ke kiri, ke jalan yang dekat kali itu. Ia terus berjalan. Dia menyebrang jalan dan masuk ke dalam sebuah lahan. Lahan apa itu? Untuk menjawab rasa penasaranku aku langsung mengikutinya, dengan perlahan-lahan. 

Sebuah makam. Ya, Bapak pergi ke sebuah makam. Ia duduk di dekat sebuah kijing berwarna hitam. Aku masuk ke dalam daerah kompleks makan itu. Bapak tengah menengadah ke langit, beliau seperti menunggu sesuatu. Aku mendekatinya.

Dia mengambil gelas yang ia letakkan di samping kanannya dan mulai menyeruput minumannya itu. Aku melangkahkan kaki kiriku, dan sekarang aku berdiri tepat di sampingnya. Beliau meletakkan cangkir miliknya. Aku duduk di samping kanannya, memeluk kedua kakiku dan meletakkan daguku.

"Aku selalu memikirkannya. Dia mirip sepertimu. Kecil, ramah, dan pandai bermain kentrung. Saat pertama kali aku melihatmu, aku enggan menanggapi dirimu. Namun, sebungkus roti yang kamu bawa itu membuatku berpikir lain. Saat itu Tuhan berbisik padaku, untuk mengambilmu. Dan hari itu, Tuhan menuntun diriku untuk belajar. Belajar merelakan." 

"Mengapa selama ini Bapak tidak cerita?"

"Aku ingin kamu tahu bahwa diriku bukanlah orang yang hebat. Aku seperti anak kecil, aku mudah menangis. Hanya di depanmu lah aku mampu menahan semua sayatan di hatiku."

Langit oranye itu dengan tabah menemani kami. Burung manyar yang sedang terbang itu menghiasi pemandanganku sembari aku merenung. Dunia ini indah. Bukan hanya indah, dunia ini juga kejam. Saat ini aku sedang duduk di atas lahan, milik orang yang telah berpulang. Entah di mana jiwa mereka sekarang berada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun