Meski mulutnya penuh dengan nasi, Den Darmo tetap memanggil Inem.
"Nem ... Inem, sini!" kata Den Darmo sambil tangannya melambaikan pada Inem.
Kali ini Den Darmo tampak agak marah bila dilihat dari nada bicaranya.
Inem segera menghentikan pekerjaannya, meski dengan bersungut-sungut.
Huh, apalagi ini. Wah gawat, mesti mendapat semprotan meneh. Siap-siap kena bom iki!
"Sini, Nem. Kamu ki gimana to. Aku kan minta ayam goreng madu tabur wijen, kok ini ayamnya masih ada bulu-bulunya, apa nggak kok cabuti, hah!" kata Den Darmo sambil menunjukkan bulu ayam yang menempel di ayam tersebut.
Dengan sedikit senyum, Inem pun menjawab kemarahan majikannya.
"Oh, itu to Den. Wah saya kurang tahu ya Den jika masih ada bulunya sedikit. Tadi kan uang yang diberikan hanya selembar, sedang kebutuhan belanjanya cukup banyak harus dibeli semua. Mungkin karena tadi uangnya kurang jadi sama penjual daging ayam dibonus bulunya. Jika uangnya cukup ya bersih dagingnya, Den,"kata Inem tanpa rasa bersalah.
"Hah, asem tenan kowe ki, Nem. Masa aku kon mangan wulu pitik. Padakke apa wae. Sesuk tulung diomongke bakule ayam ya aja macem-macem karo aku. Karo alasanmu kuwi ya ora tinemu nalar."
"Ya ... daripada bulu saya yang ada di situ, mending bulu ayam to, Den," kata Inem polos.
"Kowe omong apa? Ya wes gajimu tak potong sesasi mengko!"