Imah seorang gadis berusia enam belas tahun, pembantu rumah tangga yang berasal dari desa dan berpenampilan sangat sederhana. Imah sering dipanggil Inem oleh majikannya agar lebih menjual namanya, seperti film yang terkenal dulu.
Rambut lurus sebahu selalu dikucir satu memakai karet gelang bekas tali belanjaan yang terbungkus plastik.
Saking sederhananya, dia ke mana-mana juga hanya memakai sandal jepit yang tidak pernah ganti, kecuali jika sudah lepas japitnya atau bolong sandalnya.
Pakaian favoritnya adalah kaos oblong, katanya biar santai, dan enak jika dipakai untuk bekerja di dapur.
Perilaku Imah kadang terlihat lucu, tapi sering karena kelucuannya membuat majikan salah tafsir dan menjadi marah.
Imah sudah dua tahun bekerja di keluarga cukup kaya yang masih turunan ningrat, dialah Den Darmo.
Menurut cerita, Den Darmo putri, bukan tipe majikan yang mudah dipahami. Perempuan bertubuh tambun ini memang terkenal rewel.
Jadi beberapa kali pembantu rumah tangga yang bekerja padanya hanya berumur sekitar satu tahun.
Beruntung sekali Imah dapat bertahan sampai dua tahun, mungkin karena kepolosannya itulah yang membuat dia tetap survive di keluarga Den Darmo.
Keluarga Den Darmo memiliki perusahaan yang besar dan terkenal, tetapi lebih suka mempekerjakan Inem yang berasal dari desa dan masih lugu, belum berpengalaman.
Inem dibawa oleh satu satu pekerja Den Darmo yang juga berasal dari desa, namanya Nardi. Entah bagaimana Inem mau saja bekerja mengikuti Nardi tetangganya.
Setelah pekerjaan menyapu dan mengepel selesai, Inem seperti biasa mendapat tugas dari majikannya.
Den Darmo Putri berteriak-teriak memanggil Inem yang sedang membereskan dapur serta mengecek persediaan bumbu. Dengan sedikit kesal karena panggilannya tidak segera mendapat sahutan, suara Den Darmo pun diperkeras.
"Nem ... Inem, sini! Ada tugas pagi ini, berbelanja ke pasar," perintah Den Darmo dengan wajah sedikit garang.
Inem yang merasa dipanggil segera mendekat dan membungkukkan badan.
"Ya, Den Putri, ada tugas apa pagi ini?"
Wajah Inem sedikit disembunyikan karena takut kena marah majikannya.
"Dipanggil berkali-kali kok tidak menyahut, kamu sedang apa? Pita suaraku hampir pedhot, Nem."
"Maaf, Den Putri, e ... saya baru membersihkan dapur sekaligus mengecek persediaan bumbu."
"Wes, kana lek mangkata neng pasar, iki cathetane blanja, aja suwe-suwe, rasah mampir-mampir, rasah kokean ngobrol nek ketemu kancane, apa perlune lek bali," kata Den Darmo Putri panjang lebar sambil menyodorkan catatan kecil daftar belanja dan selembar uang kertas warna biru.
Inem menerima catatan dan uang tersebut dengan sedikit bengong.
Apa cukup dhuwit semene kok blanjane akehe pol. Apa dagangane wekne mbahne, batin Inem penuh tanda tanya.
"Ealah kok ra lek menyat, selak awan, aku selak ngelih, Nem."
"Den Putri, apa ini cukup uangnya, daftar belanjanya sejagat j."
"Rasah protes apa meneh demo kaya sing akeh neng TV kae, pokoe teko lek mangkat, cepet!"
Inem pun tidak berani berkutik lagi, jika majikannya sudah terlalu rewel. Dia hanya mengelus dada, dan segera pergi melaksanakan tugas.
Inem kembali ke dapur dan segera mengambil tas plastik khusus untuk belanja. Sambil  pamit pada majikannya, dia pun berlalu.
Jarak pasar dan rumah Den Darmo hanya sekitar sepuluh menit jika jalan kaki, jadi Inem sudah menghemat biaya, tidak perlu menggunakan jasa ojek atau taksi.
Sepagi ini pasar sudah begitu ramai, karena kebetulan hari pasaran. Inem pun berdesak-desakan dengan sesama pengunjung pasar.
Dia pegang dompet uangnya dengan hati-hati, karena takut kecopetan.
Pernah ketika dia menjadi pembantu rumah tangga pertama kali, mendapat tugas berbelanja di pasar, tahu-tahu dompetnya amblas dibawa orang.
Dia pun menangis tergugu, karena takut kena marah majikannya.
Namun Alhamdulillah Inem dimaafkan, karena mungkin belum berpengalaman.
Setelah sekian tahun menjadi pembantu rumah tangga, Inem pun sudah banyak kenal dengan para penjual berbagai kebutuhan rumah tangga mulai sayuran, bumbu dapur, tanaman, perabot rumah tangga atau pedagang lain.
Karena sudah saling percaya, kadang Inem mendapat harga yang berbeda. Selain itu, Inem merupakan pelanggan yang setia dan ramah, jadi para penjual pun merasa senang terhadap sikap Inem.
Tidak sampai setengah jam, Inem sudah kembali ke rumah dan siap dengan jurus memasak andalannya.
Meski berasal dari desa, tetapi Inem sudah mengenal berbagai jenis masakan yang biasa dikonsumsi majikannya. Kali ini majikannya menginginkan menu ayam goreng madu tabur wijen.
Tangan kecil itu begitu lincah menari-nari di atas talenan dan wajan, menyiapkan bumbu dan mengolah ayam tersebut.
Peluh yang sudah mulai membasahi sekujur tubuhnya tidak dihiraukan lagi.
Yang ada di pikirannya hanyalah kepuasan dari majikannya.
Tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyajikan hasil masakannya.
Garnis berupa daun bawang dan lombok yang dibentuk menyerupai bunga mempercantik tampilan ayam goreng madu tabur wijen.
Meja makan kini sudah penuh dengan menu request Den Darmo, lengkap dengan jus buah dan tempe goreng kesukaannya.
Inem kembali menemui majikannya yang sedang menonton TV ruang tengah.
Seperti biasa, dengan sedikit membungkukkan badan, Inem melaporkan hasil kerjanya.
"Den Putri, sarapan sudah siap di meja makan, silakan dinikmati."
"Wah, cepet men, Nem. Ya, matur nuwun, aku tak sarapan dhisik, ya, Nem," kata Den Darmo sambil berjalan menuju meja makan.
Wajahnya terlihat sangat cerah, karena menu kesukaannya sudah terhidang di meja makan.
Inem memperhatikan majikannya yang langsung mengambil piring yang tersedia, seketika itu dia langsung protes.
"Den Putri, kok nggak wijik dulu, to?"
Majikannya tertawa lepas mendengar protes Inem yang tiba-tiba.
"Walah ya, lali, Nem, karang selak ngelih j. Ya tak wijik dhisik."
Inem langsung menuju dapur, membersihkan alat masak dan mencuci pakaian.
Den Darmo kini mulai mengambil nasi, dan ayam pesanannya. Dia mengambil sepotong ayam tersebut, tanpa menggunakan sendok dan garpu, seperti kebiasaannya. Katanya lebih enak bila makan dengan tangan.
Beberapa saat kemudian, Den Darmo berteriak-teriak lagi memanggil Inem pembantu rumah tangga andalannya.
Meski mulutnya penuh dengan nasi, Den Darmo tetap memanggil Inem.
"Nem ... Inem, sini!" kata Den Darmo sambil tangannya melambaikan pada Inem.
Kali ini Den Darmo tampak agak marah bila dilihat dari nada bicaranya.
Inem segera menghentikan pekerjaannya, meski dengan bersungut-sungut.
Huh, apalagi ini. Wah gawat, mesti mendapat semprotan meneh. Siap-siap kena bom iki!
"Sini, Nem. Kamu ki gimana to. Aku kan minta ayam goreng madu tabur wijen, kok ini ayamnya masih ada bulu-bulunya, apa nggak kok cabuti, hah!" kata Den Darmo sambil menunjukkan bulu ayam yang menempel di ayam tersebut.
Dengan sedikit senyum, Inem pun menjawab kemarahan majikannya.
"Oh, itu to Den. Wah saya kurang tahu ya Den jika masih ada bulunya sedikit. Tadi kan uang yang diberikan hanya selembar, sedang kebutuhan belanjanya cukup banyak harus dibeli semua. Mungkin karena tadi uangnya kurang jadi sama penjual daging ayam dibonus bulunya. Jika uangnya cukup ya bersih dagingnya, Den,"kata Inem tanpa rasa bersalah.
"Hah, asem tenan kowe ki, Nem. Masa aku kon mangan wulu pitik. Padakke apa wae. Sesuk tulung diomongke bakule ayam ya aja macem-macem karo aku. Karo alasanmu kuwi ya ora tinemu nalar."
"Ya ... daripada bulu saya yang ada di situ, mending bulu ayam to, Den," kata Inem polos.
"Kowe omong apa? Ya wes gajimu tak potong sesasi mengko!"
"Waduh, ampun Den Putri."
Inem pun tersenyum dalam hati.
Magelang, 29 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H