Mohon tunggu...
Eka Kurnia Chrislianto
Eka Kurnia Chrislianto Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Advocate, Lawyer, Legal Consultant, Corporate Lawyer, Civil Law Lawyer, Land and Property Law, Marital, Divorce Dissolutions, and Inheritance Law, Criminal Law, etc. Kunjungi juga: https://kumparan.com/eren-jager dan https://zefilosofi.medium.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pro Kontra Perkawinan Beda Agama, Begini Aturannya

25 Maret 2022   22:02 Diperbarui: 25 Maret 2022   22:12 3542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayu Kartika Dewi, Staf Khusus Presiden Jokowi telah melangsungkan perkawinan dengan seorang pria bernama Gerald Bastian di Hotel Borobudur secara Islam dan setelah itu mengikuti misa pemberkatan di Gereja Katedral, Jumat, (18/03/2022), Jakarta Pusat.

Akad nikah dan sakramen perkawinan disiarkan langsung dari akun YouTube Ayu Kartika Dewi. Misa pemberkatan dipimpin langsung oleh Uskup KAJ, Kardinal Ignatius Suharyo.

Lantas bagaimanakah Hukum Perkawinan di Indonesia mengatur terkait perkawinan Beda Agama seperti yang diberlangsungkan oleh Ayu Kartika? Simak penjelasan singkat berikut:

Definisi Perkawinan

Pertama-tama perlu dilihat dulu dari definisi bahwa secara resmi, istilah yang dipakai di Indonesia adalah Undang-Undang Perkawinan, bukan Undang-Undang Pernikahan.

Walau pun dalam beberapa kesepakatan ada istilah "Isbat Nikah" di lingkungan Peradilan Agama, pada awalnya isbat nikah sangat terbatas.

Jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebenarnya isbat nikah tidak boleh, kecuali untuk perkawinan sebelum tahun 1974, akan tetapi Mahkamah Agung membuat terobosan hukum baru, dengan dalil atau alasan untuk membantu masyarakat, khususnya yang kurang mampu, untuk memperoleh identitas perkawinannya diakui secara hukum.

Selain itu, menurut Hasbi Hasan, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 awalnya Undang-Undang Pernikahan, tapi ketika diplenokan diubah menjadi Undang-Undang Perkawinan, supaya tidak terkesan hanya untuk orang Islam.

Mengingat bahwa kalau nikah serapan dari bahasa Arab, dan kawin bahasa Indonesia. Lebih tepatnya menurut Aprilia Kumala, dalam tulisannya "Bedanya Nikah dan Kawin: Mana Duluan?" menjelaskan bahwa kawin itu berasal dari Bahasa sansekerta, dalam bahasa Sansekerta, terdapat kata vini yang berarti 'membawa pergi', 'melatih kuda', atau 'menyiksa'.

Setelah diturunkan ke bahasa Jawa Kuno, kata ini berubah menjadi hawin atau awin, yang mekananya adalah 'membawa' atau 'memboyong'. Seiring berjalannya waktu, kata awin mendapat imbuhan ka (ka-awin), dan membuatnya berarti 'dibawa' atau 'diboyong'. Konon, kata vini inilah yang menjadi cikal bakal kata bini di Betawi.

Mencermati batang tubuh Undang-Undang Perkawinan adalah menyantap ketentuan awal, yakni Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan definisi tentang perkawinan yang intinya menegaskan bahwa:

"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa."

Definisi ini diberikan oleh pembentuk undang-undang yang diharapkan sebagai pembakuan pengertian tentang perkawinan, menyoalkan definisi, jika dibandingkan dengan pengaturan perkawinan di dalam KUHPerdata.

Ketentuan awalnya justru tidak berisi pemberian definisi perkawinan tetapi malah menegaskan bahwa Lembaga perkawinan hanya dilihat dari segi perdatanya saja. Ini dapat disimak pada Pasal 26 KUHPerdata yang menyatakan:

"Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata,"

Bagaimana Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia?

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda berdasarkan Pasal 131 Jo. Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling), penduduk Hindia Belanda kala itu dibagi menjadi 3 (tiga) golongan besar yakni Eropa, Pribumi, dan Timur Asing yang tunduk pada aturan Keperdataan yang berbeda-beda.

Gologan Eropa dikuasi oleh Hukum Eropa sebagaimana diatur dalam BW (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) atau yang dikenal dengan KUHPerdata.

Sedangkan, Pribumi tunduk pada Hukum Adat, lalu Timur Asing tunduk pada KUHPerdata Sebagian juga tunduk pada Hukum Adat mereka.

Berdasarkan kondisi tersebut, potensi masalah pun akan muncul yang kemudian dikenal dengan Perkawinan Campuran, sehingga aturan itu pun kemudian diatur dalam Gemengde Huwelijken Reglement / Regeling op de Gemengde Huwelijken (G.H.R) yang mana Adapun jenis perkawinan campuran yang dimaksudkan adalah:

  1. Perkawinan yang para pihaknya berbeda golongan;
  2. Perkawinan yang para pihaknya berbeda kewarganegaraan;
  3. Perkawinan yang para pihaknya berbeda regio;
  4. Perkawinan yang para pihaknya berbeda Hukum Adat mereka;
  5. Perkawinan yang para pihaknya berbeda agama.

Mengingat dalam perkawinan campuran itu calon mempelainya tundak pada hukum yang berbeda, maka timbul pertanyaan hukum mana yang akan diberlakukan (applicable law)?

Untuk memecahkan permasalahan itu maka berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 6 G.H.R, intinya menerangkan bahwa yang berlaku adalah hukum calon suami.

Kemudian dengan lahir dan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana amanat konstitusi menjadi aturan utama yang menakhiri era pluralisme hukum perkawinan yang sudah demikian lama berlaku di tanah air.

Lahirnya UU ini menjadi Langkah awal unifikasi hukum perkawinan Indonesia sehingga untuk seluruh warga negara Indonesia untuk urusan kawin harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Mengingat berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

"Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku."

Kemudian berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."

Pada dasarnya hukum positif kita mengenal adanya Perkawinan Campuran sebagaimana Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:

"Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia."

Ini berbeda sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) G.H.R yaitu:

"Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan."

Hukum positif kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama, meskipun pengantin laki-lakinya beragama Islam. Meskipun dalam ketentuan Pasal 40 Huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan:

"Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: seorang wanita yang tidak beragama islam,"

Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di catatan sipil, sebagaimana pendudukan non-muslim lainnya.

Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan:

"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Jika kita baca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi dengan seksama Mahkamah menetapkan bahwa:

  1. Pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan.
  2. Pencatatan merupakan kewajiban administratif yang Diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Mengingat juga, semenjak 1 Januari 1989 (melalui Keppres 12/1983) Kantor Catatan Sipil tidak lagi berwenang untuk mengawinkan, hanya mencatatkan.

Artinya, peran negara di sini bukan untuk menyatakan sah atau tidak suatu perkawinan (berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, karena sah tidaknya itu sifatnya keperdataan, barulah kemudian Ayat (2) terkait soal administrasi, yang menjadi peran negara.

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 ("UU Adminduk") menyatakan bahwa perkawinan yang sah wajib dicatatkan.

Sebaliknya, ketika perkawinan dilangsungkan tanpa mengikuti hukum agama dan kepercayaan sehingga perkawinannya dianggap tidak sah, maka perkawinan bahkan menjadi tidak bisa dicatatkan karena perkawinannya bahkan dianggap tidak pernah terjadi.

Akibat dari tidak adanya pencatatan adalah tidak ada perlindungan yang diberikan kepada pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama dan kepercayaan sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Maria Farida Indrati di dalam concurring opinion pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012 dihalaman 39--40.

Pasal 34 UU Adminduk menyatakan:

"Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan."

Selanjutnya, Pasal 35 huruf a UU Adminduk menyatakan:

"Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan,"

Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk menyatakan:

"Yang dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama."

Ketika Pasal 34, Pasal 35 huruf a, dan Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk dibaca bersamaan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama dan kepercayaan adalah perkawinan yang "sah" sehingga dapat dicatatkan, sepanjang dilakukan dengan penetapan pengadilan.

Ada beberapa pendapat hakim-hakim yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama dan kepercayaan dapat dilakukan seperti dalam Penetapan Nomor 112/Pdt.P/ 2008/PN.Ska, Penetapan Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska, Penetapan Nomor 04/Pdt.P/2012/PN.MGL, Penetapan Nomor 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj, Penetapan Nomor 210/Pdt.P/2013/PN.Jr, Penetapan Nomor 772/Pdt.P/2013/PN.Mlg, Penetapan Nomor 12/Pdt.P/2022/PN.Ptk, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/PDT/1986, alasan yang secara umum digunakan adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa UU Nomor 1/1974 tidak mengatur bahwa perkawinan beda agama dan kepercayaan merupakan suatu larangan perkawinan. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1/1974 tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk melarang perkawinan beda agama dan kepercayaan karena ketentuan tersebut hanya berlaku terhadap perkawinan antara dua orang yang memeluk agama yang sama;
  2. Bahwa dengan diajukannya permohonan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka Pemohon telah berkehendak untuk tidak melangsungkan perkawinan berdasarkan agamanya sehingga ia dianggap telah menghiraukan status agamanya;
  3. Bahwa Pasal 27 dan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang menetapkan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing;
  4. Bahwa Indonesia memiliki masyarakat yang plural sehingga perkawinan beda agama dan kepercayaan merupakan suatu peristiwa yang sangat mungkin terjadi. Akan tetapi, satu-satunya undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan, yaitu UU Nomor 1/1974 tidak secara tegas mengatur mengenai perkawinan beda agama dan kepercayaan sehingga terjadi kekosongan hukum sehingga perlu dilakukan suatu penemuan hukum oleh hakim.

Khusus untuk Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1400K/PDT/1986 kembali menyatakan dan menegaskan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur perkawinan antaragama sehingga terdapat kekosongan hukum. Akibat kekosongan hukum tersebut mengakibatkan penyelundupan penutupan nilai-nilai sosial, agama, maupun hukum-hukum positif.

Bahwa menurut putusan Mahkamah Agung a quo, permohonan kasasi tersebut diajukan oleh Andy Voni Gani P. bermaksud melangsungkan perkawinan antaragama di Kantor Catatan Sipil (KCS) dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan, akan tetapi KCS menolaknya dengan alasan tidak ada dasar hukumnya.

Melalui putusan Mahkamah Agung tersebut, Mahkamah Agung memerintahkan KCS untuk memasukkan pernikahan dan mencatat perkawinan dari Pemohon dan calon pasangannya karena di masa depan akan banyak permasalahan hukum terkait perkawinan antar agama.

Bagi hakim-hakim yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama dan kepercayaan tidak dapat dilakukan, seperti dalam Penetapan Nomor 08/Pdt.P/2013/PN.Ung dan Penetapan Nomor 527/Pdt/P/2009/PN.Bgr, alasan yang secara umum digunakan adalah:

  1. Agama adalah unsur dari perkawinan yang tidak dapat dilepaskan; dan
  2. Pasal 25 huruf a UU Adminduk hanya mengatur mengenai kewenangan Pejabat Catatan Sipil untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, sedangkan mengenai syarat, larangan, dan tata cara pelaksanaan perkawinan masih mengacu pada ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.

Bagaimana jika melakukan peralihan agama sebagai alasan untuk melangsungkan perkawinan?

Perlu dicatat bahwa Peralihan agama tidak membubarkan perkawinan. Pendapat ini merupakan pendapat terbanyak para sarjana (communis opinio doctorum), antara lain Lemaire dan van Hasselt. Hanya dapat dijadikan alasan oleh yang tidak turut beralih agama untuk mengajukan tuntutan perceraian. 

Contoh: Putusan Landraad Banyumans 1934, di mana istri mengajukan tuntutan cerai dengan alasan suami menjadi bukan Kristen (masuk Islam dan kawin lagi dengan perempuan lain). Sekarang, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), murtadnya salah satu pasangan suami atau istri, merupakan alasan untuk bercerai.

Akhir kata, Solusi yang dapat ditempuh pada akhirnya adalah untuk tetap dapat melangsungkan perkawinan beda agama antara lain:

  1. Melangsungkan perkawinan di luar negeri setelah 1 (satu) tahu kembali dan harus dicatat di Kantor Catatan Sipil di Indonesia;
  2. Melangsungkan perkawinan tetap di Indonesia akan tetapi dilakukan di 2 (dua) instansi agama yang berbeda (seperti Vihara, Gereja, dan lain sebagainya), lalu dicatat di Kantor Catatan Sipil; 
  3. Melangsungkan perkawinan di 1 (satu) instansi agama saja, misalnya gereja atau KUA, lalu minta penetapan pengadilan yang memerintahkan agar Kantor Pencatatan Sipil mencatatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun