Hukum positif kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama, meskipun pengantin laki-lakinya beragama Islam. Meskipun dalam ketentuan Pasal 40 Huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan:
"Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: seorang wanita yang tidak beragama islam,"
Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di catatan sipil, sebagaimana pendudukan non-muslim lainnya.
Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan:
"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Jika kita baca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi dengan seksama Mahkamah menetapkan bahwa:
- Pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan.
- Pencatatan merupakan kewajiban administratif yang Diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Mengingat juga, semenjak 1 Januari 1989 (melalui Keppres 12/1983) Kantor Catatan Sipil tidak lagi berwenang untuk mengawinkan, hanya mencatatkan.
Artinya, peran negara di sini bukan untuk menyatakan sah atau tidak suatu perkawinan (berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, karena sah tidaknya itu sifatnya keperdataan, barulah kemudian Ayat (2) terkait soal administrasi, yang menjadi peran negara.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 ("UU Adminduk") menyatakan bahwa perkawinan yang sah wajib dicatatkan.
Sebaliknya, ketika perkawinan dilangsungkan tanpa mengikuti hukum agama dan kepercayaan sehingga perkawinannya dianggap tidak sah, maka perkawinan bahkan menjadi tidak bisa dicatatkan karena perkawinannya bahkan dianggap tidak pernah terjadi.
Akibat dari tidak adanya pencatatan adalah tidak ada perlindungan yang diberikan kepada pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama dan kepercayaan sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Maria Farida Indrati di dalam concurring opinion pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012 dihalaman 39--40.