"Bukan tentang harga?" jawab Engkong. Lagi-lagi sambil tersenyum sambil gelengkan kepala.
'Terus apa?" Celetuk Paklek Rief. Agaknya, juga penasaran sepertiku.
Kulihat wajah ayahku pusat pasi. Aku menduga, ayah pasti cemas sebagai pengurus mushalla. Sebab, jika benar-benar terjadi, jamaah mushalla, bakal kehilangan seekor sapi sebagai satu-satunya hewan qurban di gang sapi.
"Jika Engkong tak lagi pelihara sapi. Bagaimana dengan qurban di mushalla?"
Akhirnya secara jujur, ayahku mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan dugaanku.
"Justru itu!"
Suara Engkong terdengar jelas dan tegas. Kali ini, tak lagi ada senyuman di wajah Engkong. Juga tak ada gelengan kepala. Berganti wajah serius, selayaknya sesepuh warga Gang Sapi.
"Aku malu!"
Suara Engkong semakin tajam. Semua yang hadir terkejut! Namun, lebih memilih menunggu penjelasan Engkong.
"Kau Kape, berapa lama tinggal di sini?"
"Delapan tahun!"
"Rud?"
"Empat Tahun!"
"Kau, Rief!"
"Ini tahun, masuk tahun ketiga, Aku di sini!"
Engkong tak bertanya pada Ayahku. Sebab, beliau berdua yang merintis daerah ini, lima belas tahun lalu. Hingga menjadi pemukiman yang dikenal masyarakat sebagai Gang Sapi.