Sesore ini, pos ronda di Gang Sapi tampak sepi.
Di belakang pos ronda itu, ada sebidang tanah kosong milik Engkong. Dulu, ada bangunan kayu sederharna. Yang dijadikan kandang sapi.
Aku tahu dari cerita Ayah, karena kandang itu, maka jalan kecil yang membelah barisan rumah warga ini, dinamakan gang sapi.
Lagi, dari cerita ayahku. Sapi yang dipelihara di kandang itu, jumlahnya selalu dua ekor. Dan, keduanya adalah sapi jantan. Engkong adalah pemilik kandang sekaligus pemilik kedua sapi itu.
Akupun jadi tahu, bahwa Engkong adalah pensiunan petani yang memilih berkarir sebagai peternak sapi.
Figurnya keras, namun baik hati. Buktinya, nama Engkong selalu berada di urutan teratas dari daftar nama peserta qurban yang tercantum di dinding mushalla. Setiap hari raya qurban, satu sapi jantan akan keluar dari kandang untuk diqurbankan.
"Engkong adalah peserta tetap, Nak!"
"Oh!"
"Jika tak ada sapi dari Engkong, maka tak akan ada daging qurban dari sapi. Selain itu, beduk mushalla pun, tak akan bisa tiap tahun berganti, kan?"
Kulit beduk di mushalla itu setiap tahun berganti. Tentu saja dari kulit sapi pemberian Engkong.
Saat itu, nyata terlihat wajah bangga ayah saat membicarakan kebaikan Engkong. Teman sehati sekaligas warga tertua Gang Sapi.
Hari-hari kemarin, Acapkali, kulihat Engkong bersama sekawan Gang Sapi, Paklek Rief, Pakde Rud dan Om Kape, duduk di pos ronda.
Tapi hari ini, pos ronda Gang Sapi sepi.
***
Biasanya selama bulan ramadan, pos ronda tak hanya diisi oleh Engkong dan tiga sekawan itu. Ayahku, juga beberapa orang yang aku tak tahu namanya, sering ikut meramaikan duduk-duduk.
Tentu saja, mendengarkan beragam cerita sambil sambil menunggu bunyi beduk dari musalla sebagai tanda berbuka. Termasuk tadi sore kemarin.
Dan, aku masih mengingat lekat percakapan yang tak akan pernah kulupakan, saat menemani Ayahku duduk di pos ronda tadi.
"Sudah kuputuskan! Tahun depan, aku tak lagi berternak sapi!"
Dan, seperti biasa, Engkong lebih dulu memulai percakapan. Awalnya, tiga sekawan itu diam membisu. Termasuk, Aku dan Ayahku.
"Kenapa? Masih ada yang protes tentang aroma kandang sapi itu? Siapa orangnya? Biar nanti aku..."
Suara Om Kape yang asli Makassar terdengar, seperti suara petir yang menggelegar. Kulihat, segaris senyum di bibir Engkong, sambil gelengkan kepala.
"Bukannya pasaran harga sapi bagus? Apalagi sapi Engkong jenis lamborghini, kan?"
Pakde Rud yang pengusaha kuliner, dan sangat tahu pergerakan harga jual sapi jenis lamborghini, juga ikut heran dengan keputusan Engkong.
"Bukan tentang harga?" jawab Engkong. Lagi-lagi sambil tersenyum sambil gelengkan kepala.
'Terus apa?" Celetuk Paklek Rief. Agaknya, juga penasaran sepertiku.
Kulihat wajah ayahku pusat pasi. Aku menduga, ayah pasti cemas sebagai pengurus mushalla. Sebab, jika benar-benar terjadi, jamaah mushalla, bakal kehilangan seekor sapi sebagai satu-satunya hewan qurban di gang sapi.
"Jika Engkong tak lagi pelihara sapi. Bagaimana dengan qurban di mushalla?"
Akhirnya secara jujur, ayahku mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan dugaanku.
"Justru itu!"
Suara Engkong terdengar jelas dan tegas. Kali ini, tak lagi ada senyuman di wajah Engkong. Juga tak ada gelengan kepala. Berganti wajah serius, selayaknya sesepuh warga Gang Sapi.
"Aku malu!"
Suara Engkong semakin tajam. Semua yang hadir terkejut! Namun, lebih memilih menunggu penjelasan Engkong.
"Kau Kape, berapa lama tinggal di sini?"
"Delapan tahun!"
"Rud?"
"Empat Tahun!"
"Kau, Rief!"
"Ini tahun, masuk tahun ketiga, Aku di sini!"
Engkong tak bertanya pada Ayahku. Sebab, beliau berdua yang merintis daerah ini, lima belas tahun lalu. Hingga menjadi pemukiman yang dikenal masyarakat sebagai Gang Sapi.
"Aku tak malu, saat dijuluki peternak sapi yang gagal! Wong, mereka nantimya juga akan sadar, yang kulakukan adalah untuk perkembangan ilmu pengetahuan! Bayangkan, jika sapi-sapi besar itu, bisa dengan gampang dibudidayakan tanpa mengikuti rumusan rumit perkembangbiakan! Akan menjadi solusi cepat dan tepat untuk ketahanan pangan!"
Semua yang berada di pos ronda terpana. Namun, tak satupun punya keberanian menyela. Aku juga mendengar, jika Engkong memang pernah dijuluki begitu.
"Aku tahu, kedua sapiku itu adalah sapi jantan! Â Namun, itu gunanya ilmu pengetahuan! Walaupun kecil, selalu ada kemungkinan-kemungkinan! Ayam betin bisa bertelur tanpa ayam jantan, kan? Jadi, tugasku sebagai pensiunan untuk melakukan eksperimen, kenapa hal itu tak bisa dilakukan sebaliknya?"
"Itu kan berlaku pada Ayam?" Kudengar dengar suara pelan Om Kape.
 "Jika sebaliknya, harusnya eksperimen Engkong, bagaimana caranya ayam jantan bertelur. Bukan sapi jantan!" Kali ini, Pakde Rud menyela.
Mata Engkong mendelik! Bergantian menatap Paklek Rief, Aku, juga ayahku. Namun, kami bertiga masih memilih tak bersuara.
"Kalian harus tahu. Kalau melakukan penelitian itu, jangan tanggung! Biar hasilnya juga tak tanggung-tanggung!"
Pos Ronda dikuasa sunyi.
"Mana lebih besar? Ayam jantan atau sapi jantan?"
Kalimat terakhir Engkong seakan ditujukan padaku. Namun, Mulutku kembali terkatup rapat, usai kudengar bisikan ayahku. "tak usah jawab."
"Terus, Kenapa Engkong malu? Kemudian memutuskan tak lagi memelihara sapi? Apakah eksperimen Engkong benar-benar gagal, seperti anggapan orang-orang?" Akhirnya, Ayahku memberanikan diri bersuara.
Engkong menarik nafas panjang. Kali ini, kembali kulihat kepala yang dipenuhi rambut putih itu bergerak ke kiri dan ke kanan.
"Aku tak peduli anggapan orang-orang! Sebab tujuanku, mengabdikan sisa umurku untuk ilmu pengetahuan!"
Lagi. Tak ada yang berani membantah. Pos Ronda kembali hening.
"Lantas, apa alasan Engkong malu, dan berhenti memelihara sapi?"
Ayahku, kembali bersuara. Kulihat senyuman hadir kembali di sudut mulut Engkong.
"Aku mau tanya. Kalian sekarang ngapain masih duduk di sini? Padahal sebentar lagi waktu berbuka?"
Aku menatap wajah ayah, juga wajah tiga sekawan. Nyaris sama! Tampak ada garis kerutan yang menghiasi dahi mereka. Agaknya curiga, dengan pertanyaan Engkong barusan.
"Kalian akan beranjak dari sini, ketika beduk mushalla berbunyi, tah?"
Seperti kawanan burung pelatuk. Empat wajah penuh kerutan itu, bersamaan mengangguk. Engkong tiba-tiba berdiri. Kemudian jari telunjuknya diarahkan padaku.
"Kau masih muda! Seharusnya, kau mengerti, perkembangan ilmu pengetahuan untuk mendukung kemajuan teknologi, kan?"
Tanpa sadar, kunggukkan kepalaku. Jari telunjuk Engkong perlahan mengarah ke ujung Gang. Persis ke arah Mushalla.
"Sudah saatnya, kita warga gang sapi ikuti kemajuan teknologi! Nah. Aku malu karena suara beduk itu! Tanda berbuka seharusnya diganti! Bukan lagi bunyi beduk kulit sapi! Tapi bunyi sirene!"
Curup, 12.04.2023
zaldy chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H