Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku dan Cerita Bapakku tentang Singkong Ibuku

6 April 2023   12:26 Diperbarui: 6 April 2023   12:40 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrated by: pixabay.com

Lais, 2017.

"Kau tak lupa rasa singkong, kan?"

Kalimat pelan nyaris berbisik menyelinap hening di liang telingaku. Sepotong singkong dengan kepulan uap putih mendominasi pandanganku.

Kuraih singkong rebus itu dari genggaman lelaki tua, yang memilih duduk di hadapanku. Sekilas, segaris senyuman tampak menghiasi bibir Bapak.

Bibir yang menghitam. Tak lagi ada kumis tebal seperti saat terakhir aku bertemu. Lima tahun lalu. Kini bibir itu telah dihiasi rambut tipis berwarna putih. Di antara kedua lubang hidung Bapak, ada dua barisan yang berbentuk dua garis sejajar berwarna agak kecoklatan.

"Bapak masih merokok?"

Mataku menyelidik. Lelaki tua di hadapanku, perlahan merogoh saku celananya. Aku menahan tawa, saat melihat satu bungkusan plastik bening diletakkan di atas meja. Segulung daun nipah dan irisan daun tembakau kasar.

"Rokok pabrikan semakin mahal, Nak!"
"Syukurlah! Sudah waktunya Bapak mengurangi rokok."
"Sejak dulu sudah berkurang, kan? Bapak merokok cuma sebatang-sebatang!"

Aku hanya bisa tertawa. Bapak adalah lawan yang tak mudah untuk dikalahkan, jika pembicaraan berujung perdebatan.

Tangan tua itu dengan cekatan meraih dua gulungan daun nipah, kemudian mencubit sedikit tembakau. Mataku menjadi saksi, ketika jemari Bapak menari, menggulung daun nipah dan irisan tembakau itu menjadi sebatang rokok linting.

Tak butuh waktu lama. Kepulan kabut putih segera memenuhi udara dingin dini hari. Sejenak, dapur dikuasai sepi.

Aku beranjak ke dekat tungku perapian. Sepasang mataku mengikuti gerak tanganku menjelajahi beberapa bungkusan plastik berwarna hitam yang tergantung di dinding dapur.

"Cari apa?"
"Gula aren! Lebih nikmat, jika dimakan dengan singkong rebus."
"Tak ada, Nak!"
"Hah! Bapak tak lagi menakik nira?"

Pertanyaan sia-sia. Agak lama telingaku menyimak nada tawa yang bergema.

"Kau tak lupa berapa usia Bapakmu, kan?"

Aku menahan malu, usai telingaku dipaksa lagi mendengar suara tawa keras yang sanggup mengusir sepi di dapur. Perlahan, kedua kakiku mengajak tubuhku duduk kembali di hadapan Bapak.

Tiba-tiba Bapak berdiri, dan bergerak lincah ke arah rak bambu yang nyaris menghitam akibat asap dapur. Sesaat kulihat. Satu mangkok kecil plastik berwarna biru disodorkan padaku.

"Ini hasil kebun di belakang rumah. Kau masih ingat cara makan rebusan singkong dengan cabai rawit. kan?"

***

Daspetah, 1979.

"Ini untuk makan pagi, Nak."

Empat potong kecil singkong yang dibungkus daun pisang, diletakkan di atas daun tikar pandan kecil, alas tidurku malam tadi. Tikar itu tak cukup lebar untuk menutupi tanah merah basah, yang tergesa ditutupi Bapak tadi malam dengan terpal kusam untuk menjemur kopi.

"Makanlah!"

Aku bergeming. Tangan Ibu mengambil potongan singkong yang paling kecil. Dan potongan singkong dingin itu, segera melesat senyap di mulut ibu.

"Kau tak mau? Ibu habiskan, ya?"

Tangan ibu sudah meraih potongan singkong yang paling besar. Tangan kananku segera merebutnya dari tangan ibu.

Tak banyak yang kuingat tentang peristiwa malam tadi. Aku ingat tiba-tiba tubuhku sudah berada di pelukan erat ibu yang berjalan dengan tangis tertahan. Aku juga ingat, ibu tertatih menggendongku menjauh dari rumah, menembus kegelapan malam.

Terakhir yang kuingat adalah teriakan ketakutan dari orang-orang yang berlarian tanpa arah. Akupun ikut berteriak dan sambil menangis.

Gempa! Tolong!
Gempa! Tolong!

Kulihat ibu tersenyum sambil mengusap pelan rambutku. Kugigit sedikit makanan pertama yang kupegang dengan tanganku.

"Aku mau gula aren, Bu?"
"Tak ada, Nak! Di belakang tenda, Ibu lihat ada pohon cabai rawit. Kau mau?"
***

Lais, 2007

Gundukan tanah merah basah itu, dipenuhi irisan bunga warna-warni. Aku tahu, di dalamnya, ibu akan beristirahat dengan tenang. Tubuh tua itu tak akan letih lagi menanggung nyeri akut di punggung dan pinggang.

Nyeri yang selalu ditahan dan menjadi rahasia ibu selama belasan puluhan tahun. Nyeri yang akhirnya berubah menjadi radang tulang. Dan memaksa tubuh renta tak berdaya itu, dua tahun terakhir hanya bisa berbaring di tempat tidur.

"Ibumu sakit tua, Nak!"

Hanya kalimat itu yang selalu keluar dari mulut Bapak. Setiap kali kutanyakan, asal mula sakit yang diderita ibu.

"Kau harus tahu. Ibumu perempuan yang kuat!"

Satu bisikan terbata, singgah di telingaku. Kurasakan sentuhan ringan di bahu kananku, saat satu-persatu tetangga bergantian pamit pulang, setelah menghadiri acara takziah atas meninggalnya ibuku.

Kutatap tikar plastik sebagai alas duduk tetangga yang dibentang di halaman. Mataku pun beralih menatap reruntuhan rumah yang diterangi cahaya lilin dan terang bintang di langit malam.

Gempa malam kemarin, tak hanya menghancurkan rumah. Tapi juga merenggut nyawa ibuku.

Bapak merangkul bahuku, dan mengajak tubuhku duduk. Di atas tikar plastik. Di halaman, di hadapan bangunan rumah yang telah diruntuhkan oleh gempa.

"Kau ingat gempa tahun 1979? Akibat gempa itu, kita tak lagi memiliki apa-apa. Kebun kopi yang Bapak garap diminta oleh pemiliknya. Persis dua minggu setelah gempa itu terjadi."
"Kenapa Bapak memilih pindah ke Lais?"
"Ibumu takut, jika gempa kembali terjadi. Bapak yang memaksa ibumu untuk pindah ke di sini."
"Ibu setuju?"
"Tak ada pilihan! Kebetulan ada beberapa teman Bapak yang juga ingin pindah. Lais, adalah jarak terdekat dan teraman jika ditempuh dengan berjalan kaki."
"Berjalan kaki? Dari Daspetah ke sini?"

Bapak menatap cahaya lilin yang mengecil di atas pecahan piring. Lalu, wajahnya menengadah menatap langit. Akupun mengikuti pandangan Bapak.

"Dulu, belum banyak kendaraan seperti saat ini. Jikapun ada, Bapak tak akan mampu."
"Waktu itu, Aku..."
"Usiamu belum lima tahun saat itu. Bapak dan ibu bergantian menggendongmu. Butuh empat hari dan tiga malam berjalan menembus hutan hingga sampai di sini."

Aku memilih bisu. Membiarkan bapak berkisah tentang masa lalu. Aku tahu, bapak sedang ingin mengenang Ibu. Sosok tanpa cela, yang sudah rela menemani nyaris seluruh hidup Bapak.

Kusimak pula cerita. Bahwa saat menempuh perjalanan di hutan itu, bapak dan ibu seperti orang yang sedang berpuasa. Bekal di perjalanan hanya beberapa sisir pisang dan sedikit singkong. Itupun hasil pemberian para tetangga.

"Bilang ibu, singkong itu hanya untukmu! Bapak dan ibumu bertahan dengan pisang dan makanan yang disediakan hutan."

Kuraih lengan Bapak. Dan jemariku segera menggenggam tangan tua yang lelah dimakan usia. Kubiarkan bapak kembali meneruskan kisah pengungsian itu.

Terungkaplah sebuah rahasia yang telah disimpan lama.

Hari terakhir perjalanan dari Daspetah menuju Lais. Aku dan Ibuku nyaris hanyut bahkan mati tenggelam ketika sedang menyeberangi sungai. Cerita bapak, sungai itu tak dalam. Namun berarus deras, dan dasarnya berbatu licin. Ibu terpeleset dan hanyut terbawa arus.

Ibu berhasil bertahan pada cabang pohon tumbang yang melintang di sungai. Satu tangan ibu berjuang menahan tubuhnya dari arus sungai, dan satu tangan lainnya bertahan mendekap tubuhku agar tetap berada dalam gendongan.

"Apakah peristiwa itu sebagai penyebab awal sakit punggung dan pinggang ibu?"

Tanyaku tak berjawab. Bapak lebih memilih menatap cahaya kecil dari bintang-bintang yang bertebaran di langit malam.

"Itu rahasia Tuhan, Nak! Ibumu pindah dari Daspetah ke sini, untuk menghindari gempa. Namun, di Lais ini. Gempa mengajak ibumu pergi. Selamanya!"

Aku memilih diam. Cahaya lilin sudah sejak tadi pergi. Mataku singgah pada dua buah piring plastik yang berada di sebelah pecahan piring bekas lilin yang sudah padam. Dua piring itu, tadi dibawa oleh istri kepala desa.

"Mungkin itu bisa menjadi tambahan menu untuk sahur. Bilang Pak Kades, bantuan dari Propinsi baru bisa datang besok siang."

Kembali terngiang kalimat istri kepala desa, saat berpamitan pulang. Mataku menatap nanar dua piring yang berisi singkong rebus.
***

Daspetah, 2017.

Bias mentari jingga menyeruak di sela senja ramadan, menyapa pori-poriku.

Setelah sepuluh tahun. Aku kembali berdiri tegak di atas bebatuan yang mencuat ke udara. Bebatuan purba patahan Daspetah, yang diyakini sebagai pusat gempa yang terjadi pada tahun 1979.

"Hayuk pulang!"

Kupapah lembut tubuh rapuh itu menuju mobilku. Tak ada keberanianku menentang kalimat Bapak. Termasuk usai salat subuh tadi, memaksaku untuk mengantarkan beliau dari Lais ke Daspetah.

Kendaraan roda empat yang kukendarai, perlahan meninggalkan patahan Daspetah. Kulihat mata bapak terpejam, saat mobil bergerak pelan melewati Kantor Bupati Kepahiang.

"Nanti, bangunkan aku saat  waktu berbuka tiba, ya? Kukira jelang salat isya kita sampai di Lais!"

Kuanggukkan kepala, saat kurasakan bapak membuka mata dan menatapku. Mataku menatap bungkusan plastik hitam di pelukannya.

Singkong rebus dalam bungkusan hitam itu, adalah bekal yang wajib dibawa, setiap kali bapak mengajakku berjalan jauh meninggalkan rumah.

***
Lais, 2023.

Azan magrib baru beberapa jenak berkumandang. Ketika mataku terperangkap oleh sepotong gula aren yang disodorkan tepat di wajahku.

Istriku tersenyum menatapku.

"Aku pernah dengar cerita Bapak sebelum kita menikah. Mas suka melahap singkong dengan gula Aren saat berbuka, kan?"
"Eh!"
"Mas ingat isi bungkusan hitam yang dipeluk Bapak, dan baru bisa Mas lepaskan, saat jenazah Beliau akan dimandikan?"
"Singkong rebus, kan?"
"Dan setangkup besar gula aren, Mas! Tapi..."

Kalimat itu tiba-tiba terhenti di udara. Wajah itu segera terjatuh ke atas meja. Sepertinya, istriku masih mengingat lekat peristiwa hari itu.

Lima tahun lalu. Bapak bukan tertidur saat perjalanan pulang dari Daspetah menuju Lais. Tapi bapak pergi menyusul ibu dalam bisu.

Dan, ada satu rahasia yang kusimpan sejak lima tahun lalu.

Istriku tahu, di saku kiri celana bapak, kutemukan bungkusan plastik bening berisi segulung kecil daun nipah tanpa irisan tembakau.

Namun, istriku belum tahu, bahwa aku juga menemukan lagi bungkusan kecil di saku kanan celana Bapak. Tapi aku tahu. Sepuluh biji cabai rawit itu untukku.

Curup, 06.04.2023
Zaldy Chan

Mengenang Gempa Lais, Ramadan 2007-2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun