Gundukan tanah merah basah itu, dipenuhi irisan bunga warna-warni. Aku tahu, di dalamnya, ibu akan beristirahat dengan tenang. Tubuh tua itu tak akan letih lagi menanggung nyeri akut di punggung dan pinggang.
Nyeri yang selalu ditahan dan menjadi rahasia ibu selama belasan puluhan tahun. Nyeri yang akhirnya berubah menjadi radang tulang. Dan memaksa tubuh renta tak berdaya itu, dua tahun terakhir hanya bisa berbaring di tempat tidur.
"Ibumu sakit tua, Nak!"
Hanya kalimat itu yang selalu keluar dari mulut Bapak. Setiap kali kutanyakan, asal mula sakit yang diderita ibu.
"Kau harus tahu. Ibumu perempuan yang kuat!"
Satu bisikan terbata, singgah di telingaku. Kurasakan sentuhan ringan di bahu kananku, saat satu-persatu tetangga bergantian pamit pulang, setelah menghadiri acara takziah atas meninggalnya ibuku.
Kutatap tikar plastik sebagai alas duduk tetangga yang dibentang di halaman. Mataku pun beralih menatap reruntuhan rumah yang diterangi cahaya lilin dan terang bintang di langit malam.
Gempa malam kemarin, tak hanya menghancurkan rumah. Tapi juga merenggut nyawa ibuku.
Bapak merangkul bahuku, dan mengajak tubuhku duduk. Di atas tikar plastik. Di halaman, di hadapan bangunan rumah yang telah diruntuhkan oleh gempa.
"Kau ingat gempa tahun 1979? Akibat gempa itu, kita tak lagi memiliki apa-apa. Kebun kopi yang Bapak garap diminta oleh pemiliknya. Persis dua minggu setelah gempa itu terjadi."
"Kenapa Bapak memilih pindah ke Lais?"
"Ibumu takut, jika gempa kembali terjadi. Bapak yang memaksa ibumu untuk pindah ke di sini."
"Ibu setuju?"
"Tak ada pilihan! Kebetulan ada beberapa teman Bapak yang juga ingin pindah. Lais, adalah jarak terdekat dan teraman jika ditempuh dengan berjalan kaki."
"Berjalan kaki? Dari Daspetah ke sini?"
Bapak menatap cahaya lilin yang mengecil di atas pecahan piring. Lalu, wajahnya menengadah menatap langit. Akupun mengikuti pandangan Bapak.