Tak butuh waktu lama. Kepulan kabut putih segera memenuhi udara dingin dini hari. Sejenak, dapur dikuasai sepi.
Aku beranjak ke dekat tungku perapian. Sepasang mataku mengikuti gerak tanganku menjelajahi beberapa bungkusan plastik berwarna hitam yang tergantung di dinding dapur.
"Cari apa?"
"Gula aren! Lebih nikmat, jika dimakan dengan singkong rebus."
"Tak ada, Nak!"
"Hah! Bapak tak lagi menakik nira?"
Pertanyaan sia-sia. Agak lama telingaku menyimak nada tawa yang bergema.
"Kau tak lupa berapa usia Bapakmu, kan?"
Aku menahan malu, usai telingaku dipaksa lagi mendengar suara tawa keras yang sanggup mengusir sepi di dapur. Perlahan, kedua kakiku mengajak tubuhku duduk kembali di hadapan Bapak.
Tiba-tiba Bapak berdiri, dan bergerak lincah ke arah rak bambu yang nyaris menghitam akibat asap dapur. Sesaat kulihat. Satu mangkok kecil plastik berwarna biru disodorkan padaku.
"Ini hasil kebun di belakang rumah. Kau masih ingat cara makan rebusan singkong dengan cabai rawit. kan?"
***
Daspetah, 1979.
"Ini untuk makan pagi, Nak."