Aku pun jadi tahu. Karena itu, Wak Narto seringkali menggoda dan menjodohkanmu denganku. Padahal, tak sekalipun kau dan aku pernah bertegur sapa, apalagi berbicara. Acapkali terjadi, hanya bertukar tatapan mata.
“Gadis titipan belum muncul, Wak?”
“Kau rindu?”
Tiga tahun menjadi pelanggan minum kopi, aku terbiasa dengan kalimat menohok ala Wak Narto. Semua pelanggan memahami itu. Wak Narto selalu bicara apa adanya. Tapi, semua pelanggan merasa istimewa, karena pelayanan dan racikan kopinya.
“Udah lima hari, ya?”
“Empat hari! Kemarin, malam ketiga ibunya, kan?”
***
Aku menunda beranjak pergi, saat melihatmu melangkah pelan ke warung Wak Narto. Matamu menatapku. Sejenak langkahmu terhenti. Ragu. Hari itu, dua minggu setelah pemakaman ibumu.
“Apa kabar, gadis titipan?”
Itu pertanyaan pertama. Juga kalimat partamaku untukmu. Kau terkejut. Tapi memilih meneruskan langkahmu menemui pemilik warung. Dari arah belakang punggung, terdengar suara tawa Wak Narto.
***