“Wak. Beli minyak goreng satu kilo. Kecap manis satu! Terus…“
“Kecapnya, yang botol atau…”
“Botol Besar! Garam 1 bungkus, yang halus. Terus…”
Sosok kecil itu terdiam. Matanya serius memperhatikan secarik kertas yang telah lecek. Kedua tangannya, sibuk membolakbalikkan kertas itu. Berusaha mengeja ulang tulisan dengan huruf besar-besar. Karya calon siswa kelas 1 SD.
“Ada lagi?”
“Sebentar, Wak. Tulisan di catatan ini...”
“Pasti jelek! Beda dengan tulisan ayah dan ibumu! Haha…”
***
Sejak usai maghrib tadi, kau sibuk di meja makan. Buku tulis kecil, pena serta kalkulator mini menemanimu. Setiap akhir minggu, kau memiliki ritual itu. Aku tahu, kau terbiasa lakukan itu sebelum menjadi istriku.
Aku duduk di sisi kananmu, membuka catatan di ponsel, mencari bahan tulisan. Kurasakan, tanganmu menyentuh lenganku.
“Mau nulis, Mas?”
“Rencananya. Tapi, cari bahan dulu!”
“Ngopi?”
“Boleh!”
Sekilas kubaca catatanmu, akupun mengenang kisah belasan tahun lalu. Saat Tante Ina, tetangga sebelah rumah, acapkali memintaku belanja ke pasar. Agar tak lupa, aku diminta mencatat daftar belanja. Dan, setiap kali selesai berbelanja, kudapatkan selembar lima ribuan dari Tante Ina.
“Mas! Anggaran gula-kopi dikurangi, ya?”
“Lah? Kemarin rokok. Sekarang…”
Perlahan kau berdiri dari bangku kayu tempat dudukmu. Tanpa suara, kau beranjak ke kamar tidur. Tak lama, kau kembali duduk di sisiku. Ajukan selembar kertas. Itu kertas tagihan listrik. Sesaat aku terdiam memperhatikan kertas itu. Aku menatapmu yang tersenyum.
“Naik lagi?”
***
Dulu, aku menjulukimu sebagai gadis titipan. Karena setiap pagi kau selalu hadir menitip kue di warung manisan sekaligus kedai kopi milik Wak Narto. Sesudah ashar, kau akan kembali. Mengambil uang hasil titipan.
Bilang Wak Narto, biasanya kau akan menghitung serta mencatat dengan rapi dan teliti hasil jualanmu. Itu jika aku tak ada di warung. Namun, jika aku ada, kau terburu-buru berlalu.
Aku pun jadi tahu. Karena itu, Wak Narto seringkali menggoda dan menjodohkanmu denganku. Padahal, tak sekalipun kau dan aku pernah bertegur sapa, apalagi berbicara. Acapkali terjadi, hanya bertukar tatapan mata.
“Gadis titipan belum muncul, Wak?”
“Kau rindu?”
Tiga tahun menjadi pelanggan minum kopi, aku terbiasa dengan kalimat menohok ala Wak Narto. Semua pelanggan memahami itu. Wak Narto selalu bicara apa adanya. Tapi, semua pelanggan merasa istimewa, karena pelayanan dan racikan kopinya.
“Udah lima hari, ya?”
“Empat hari! Kemarin, malam ketiga ibunya, kan?”
***
Aku menunda beranjak pergi, saat melihatmu melangkah pelan ke warung Wak Narto. Matamu menatapku. Sejenak langkahmu terhenti. Ragu. Hari itu, dua minggu setelah pemakaman ibumu.
“Apa kabar, gadis titipan?”
Itu pertanyaan pertama. Juga kalimat partamaku untukmu. Kau terkejut. Tapi memilih meneruskan langkahmu menemui pemilik warung. Dari arah belakang punggung, terdengar suara tawa Wak Narto.
***
“Kau mau ke mana?”
Langkahku tertahan. Tak biasanya, Wak Narto menanyakan tujuanku, usai menikmati segelas kopi. Tapi berbeda, sore itu.
“Kenapa, Wak?”
“Mau bantu antarkan ini?”
Aku tersenyum. Dan mengerti saat melihat kertas kecil di tangan lelaki separuh baya itu. Wak Narto kedipkan mata kirinya, sambil menjejalkan kertas itu ke tanganku.
“Tapi, aku belum…”
“Ini alasan yang tepat! Gadis titipan pasti butuh kertas catatan di tanganmu itu!”
Butuh satu tahun kemudian, julukan gadis titipan itu berganti peran. Dan kertas catatan menjadi alasan. Tahun kedua, Alif lahir, dan menjadi temanmu di rumah.
***
“Mas buruan!”
“Hah?”
“Lihat Alif, yuk?”
“Alif kenapa?”
Tak ada jawaban. Kau menarik tanganku. Bergegas menuju pintu keluar rumah. Memaksa langkahku menyamai langkahmu.
Berjarak sepuluh meter dari warung Wak Narto. Langkahmu berhenti. Kakiku pun ikut terhenti. Telunjuk tangan kirimu mengarah ke mulut. Telunjuk tangan kananmu, menunjuk sosok kecil yang tertunduk lesu di hadapan Wak Narto.
“Alif belajar belanja, Mas!”
Aku menahan tawa, sambil garuk kepala. Walau tadi sempat jengkel. Aku jadi tahu, alasanmu bersemangat mengajakku keluar rumah. Kulihat, Alif masih diam. Matanya menatap secarik kertas di tangannya.
Kurasakan, kau menatapku. Binar matamu, hadirkan kebanggaan seorang ibu. Perlahan, kuusap kepalamu.
“Dasar gadis titipan!”
Curup, 14.06.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H