"Bang!"
Empat orang di hadapanku terdiam. Empat pasang mata saling bertukar pandang. Saat jari telunjuk kuangkat ke udara. Perhatianku beralih pada siaran langsung TV. Bergantian, satu-persatu anak bangsa pilihan ditampilkan dan diperkenalkan. Beberapa nama asing menyeruak di kepalaku. Segera kumatikan, saat penyiar mulai berbincang dengan tiga narasumber di layar TV.
"Aku tak mau seperti itu!"
Nyaris bersamaan, empat pasang mata mengikuti jari telunjukku yang mengarah ke layar TV yang mati. Kembali, kembali empat mata saling bertukar pandang. Sesaat sunyi menguasai ruang kerjaku. Ranu, pemimpin di antara empat orang itu, menatapku.
"Tapi, Itu sudah..."
"Apa? Tradisi?"
"Maksudnya..."
"Pernah lihat petinju saat masuk ring? Kuda pacuan juga begitu, kan?"
Perlahan wajah Ranu tertunduk, mengikuti tiga wajah anak buahnya. Semua tahu, jika nada suaraku begitu, tak ada lagi bantahan.
Aku berdiri, meraih ponsel dan kotak rokokku. Berjalan pelan memutari meja kerja. Kutepuk pelan bahu Ranu. Semua mata yang ada di ruangan itu menatapku. Menunggu.
"Waktu kita berapa lagi?"
"Enam bulan, Bang!"
"Buat tahapan! Besok presentasikan padaku di sini. Kutunggu!"
Tak perlu kulihat reaksi Ranu dan tiga rekannya. Aku melangkah menuju pintu. Pulang.
***
Menunggu adalah pertengkaran jemu dan ragu. Bergantian matahari dan rembulan bertamu, member kabar kedatangan hari yang baru. Termasuk datang dan perginya minggu yang terlalu cepat berlalu. Sejak tadi, Ranu duduk di hadapku.
"Tinggal delapan kecamatan lagi, Bang!"
"Iya! Kau takut?"
"Waktu kita hanya tersisa satu bulan!"
"Masih bisa!"
"Tapi, itu wilayah kekuasaan Rojali!"
"Besok pagi, Ajak tim, kumpul di rumahku!"
"Rojali sudah sering turun ke sana! Tapi, Aku..."
"Hei! Tunggu sampai besok!"
"Besok hari minggu, Bang?"
"Kau dengar, kan?"
"Siap, Bang!"
***
Waktu terlalu singkat, jika dihabiskan untuk menyigi dan menggali kelemahan juga kekurangan. Begitu juga hidup! Terlalu sia-sia, jika dipenuhi dengan ungkapan penyesalan. Butuh keberanian untuk melupakan kesalahan masa lalu.
Keberanian adalah senjata mematikan. Dibandingkan semua senjata yang ada di dunia. Hal itu yang kubawa mengelilingi semua kecamatan. Termasuk delapan daerah yang dikuasai Rojali.
Kuraih ponsel yang tergeletak di meja. Kucari nama Rojali di daftar kontak. Kukirim sebuah pesan. Sambil tersenyum. Perlahan, kureguk kopi dingin di hadapku. Hanya sesaat, Nada dering terdengar dari ponselku.
"Hallo?"
"Aku, Bang!"
"Iya! Aku tahu!"
"Aku ke rumah, malam ini!"
***
Rumah berangsur sepi. Beberapa orang sibuk menyusun kursi. Merapikan seisi rumah juga halaman. Senyum terpaksa terlihat jelas dari wajah Ranu, saat duduk di hadapku.
"Boleh kutanyakan sesuatu, Bang?"
"Apa?"
"Kenapa aku? Dan bukan Abang?"
Mata Ranu meminta jawaban. Aku memahami, sore ini, Ranu melangkah lebih jauh menoreh sejarah hidupnya. Akupun mengingat kisah sepuluh tahun lalu. Saat ayahnya menitipkan Ranu pada ayahku.
Aku juga sangat mengerti, jika Ranu yang diinginkan ayah sebagai pengganti. Dan, aku masih mengingat percakapan dua minggu lalu. Ketika malam itu Rojali menghubungiku.
"Tenang! Rojali tak akan mengganggumu!"
"Tapi..."
"Kita lihat besok!"
***
Pesta perayaan  kemenangan yang sangat bermakna bagi Ranu. Ada airmata, saat Ranu lama menciumi tangan ayahku. Begitu juga saat berada dalam pelukanku. Kemudia beranjak keluar rumah, menemui semua orang yang berjuang untuk kemenangannya.
Ruang tamu sepi. Ayah berjalan ke arahku. Tak bersuara, langsung memelukku erat. Perlahan gelengkan kepala. Kemudian tertawa. Sambil menepuk pundakku.
"Apa rumusmu?"
"Pertahanan terbaik adalah menyerang!"
"Itu sudah basi!"
"Serangan terbaik adalah di lini pertahanan lawan!"
"Foto Ijazah palsu Rojali?"
"Iya!"
***
Aku mendampingi ayah untuk serah terima dengan Ranu. Ranu terlihat gagah. Berpakaian serba putih. Usai acara, setengah memaksa, Ranu mengajakku keluar ruang acara.
"Temani aku, Bang!"
"Hah? Kemana?"
"Kuburan Ayah!"
"Hei! Jangan seenaknya! Kau sekarang Bupati!"
Aku tahu, ucapanku pasti sia-sia. Ranu, sosok yang tak peduli dengan acara seremonial atau protokoler. Aku dan Ranu bergegas melangkah menuju tempat parkir. Namun terhent, saat kudengar seseorang memanggil namaku.
Rojali sudah berdiri di hadapku. Segera sadar, untuk bertukar salam dan mengucapkan selamat kepada Ranu. Sesaat mata Rojali menikam manik mataku, sekilas bertukar salam, dan segera pergi. Tak ada ucapan ataupun pesan. Ranu menatapku. Kutepuk pundaknya segera mengajak pergi.
Di dalam mobil. Saat perjalanan menuju kuburan Ayah Ranu. Aku kembali mengingat tatapan mata Rojali. Kukira, tatapan yang sama. Saat ayah Ranu menatap mata ayahku dulu. Sepuluh tahun lalu.
Curup, 24.10.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H