"Kau cantik, baik dan lucu," lanjut Inal.
Melani merasakan mukanya panas, dan Inal merengkuh pesona di hadapannya sepuas hati. Pipi gadis kecil yang bersemu merah itu mengingatkannya pada buah apel yang dibelinya kemarin sore di pasar Sentral.
"Saya tidak cantik," kata Melani, mencoba membuang rasa malu yang dirasakan. "Yang cantik itu Nunik, adiknya Rais. Dia cantik sekali."
Sesaat Inal merasa curiga dan tersindir, mungkin dia mengira saya sering ke rumah Rais karena ada apa-apanya dengan Nunik, batin Inal. Tapi ketika melihat tatapan polos di hadapannya, dia tahu gadis kecil itu berkata apa adanya.
"Kau juga cantik. Melani," kata Inal sambil tersenyum.
"Tidak!" bantah Melani dengan malu. Oh, kenapa dia kelabakan menghadapi cowok yang baru beberapa saat yang lalu dikenalnya. Padahal kalau dia berjalan di atas cat walk sama sekali tidak canggung.
"Cantik!" kata Inal keras kepala. "Alis matamu bagus. Matamu indah."
"Ah! Gombal!"
"Betul. Saya berkata yang sesungguhnya."
Melani mendelik. O tiba-tiba dia merasa aneh dan takut melihat mata kelam dihadapannya menyorot tajam. Kelompok anak muda yang sedang ngopi di sudut cafe itu mulai curiga.
Inal bangkit setelah menyilangkan sendok garpunya di mangkuk yang sudah kosong itu. "Suatu saat saya akan ke rumahmu dan kita akan lanjutkan pembicaraan. Hm... tentu kau masih ingat orang yang pernah mengirimi kau puisi cinta lewat Taslim, dan meyampaikan salam lewat Nunik, Rais atau Rahmansyah. Tolong deh diinget-inget! Nah, kali ini saya tidak membayarkan kau karena saya lihat dompet kecilmu gembung. Pasti isinya jutaan. See you later," kata Inal seraya meninggalkan cafe itu sambil tersenyum-senyum.