"Benar, Mas. Kalau saya butuh bantuan, aku hubungi Mas Tresno. Oh, ya terima kasih banyak, ya, Mas."
Aku kembali berusaha fokus bekerja. Setelah bertemu Aisyah tadi, aku jadi tahu tulusnya Mas Tejo berjuang untuk biaya rumah sakit Aisyah. Aku tak menyangka. Baiklah. Sekarang, aku pun berkewajiban membantu Mas Tejo bekerja demi anak kami. Aisyah harus kuat, ya. Ayah dan Ibu ada untuk Aisyah. Maafkan Ibu.
Ramainya warung Ma Tresno mulai ramai. Hal ini sukses mengalihkan atensiku. Semakin banyak pelanggan, rasanya hatiku semakin bersemangat untuk bekerja.
"Yati, tolong itu di meja nomor 3 baru datang. Tolong dilayani," titah Mas Tresno.
"Baik, Mas."
Dari belakang aku sepertinya kenal dengan punggung pelanggan meja nomor 3 ini. Benar. Dia Mas Walid. Aku harus bagaimana ini?
"Eh, Mas Walid." Aku tersenyum kaku.
"Iya, aku ke sini karenamu. Kamu sehat, kan?"
"Iya, Mas sehat. Mau pesan apa?"
Mas Walid pun memesan untuk dua orang. Di meja itu memang ada dua orang. Mungkin lelaki di sebelahnya itu temannya. Setelah aku mengantarkan pesanan Mas Walid, aku dipanggil Mas Tresno.
"Pelanggan meja nomor 3 itu, kan, yang kemarin ngobrol denganmu, to? Kamu tahu enggak siapa dia?" bisik Mas Tresno di dekat telingaku.