"Aduh, lelahnya. Ini semua demi Aisyah. Besok Mas Tejo janji akan mempertemukan kami." Aku bermonolog berikut senyum bahagia membayangkan wajah kecil putriku itu.
***
Seperti janji Mas Tejo, pagi ini dia hendak mempertemukanku dengan Aisyah. Aku begitu bersemangat pagi ini. Kamar sudah rapi, aku pun sudah rapi dan wangi. Seperti biasa Mas Tejo memintaku ke taman dekat indekos dulu.
"Ayok, Mas kita berangkat sekarang," ajakku antusias setelah menemukan sosok Mas Tejo di taman. Aku sudah tak sabar ingin bertemu Aisyah.
"Kamu benar ingin bertemu dengan Aisyah?" Mas Tejo tampak khawatir.
"Ya, benarlah, Mas."
"Kamu jangan menyesal nanti, ya."
"Kenapa harus menyesal?" Aku begitu terkejut dengan perkataan Mas Tejo barusan. Penasaran.
Mas Tejo tak menjawabku. Dia berlalu menuju motornya. Dia memberi isyarat kepadaku untuk segera naik ke kuda besinya. Entah kenapa jantungku berdebar tak karuan. Bukan karena dibonceng oleh Mas Tejo. Bukan. Melainkan karena akan bertemu buah hatiku, Aisyah.
"Turun."
Motor Mas Tejo berhenti di tempat parkir rumah sakit. Aku pun menuruti perintahnya. Pikiranku sudah tak tenang. Apa Aisyah sakit? Akan tetapi, mulut ini tak sanggup bertanya langsung kepada Mas Tejo. Takut. Aku takut kalau jawaban Mas Tejo tak sesuai harapan. Tak ada yang keluar dari mulut kami. Mas Tejo pun bungkam. Aku hanya mengekornya melewati lorong rumah sakit.
"Itu Aisyah." Telunjuk Mas Tejo mengarah ke ruang ICU rumah sakit ini. Di sana tergeletak tubuh Aisyah.