Mohon tunggu...
Zahra Wardah
Zahra Wardah Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga yang hobi menulis

Selain menulis dan ngeblog (coretanzahrawardahblogspot.com), Zahra Wardah juga menekuni di dunia Layouter, Youtuber: Cerita Keren. Silakan singgah. Semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Wanita Malam dari Desa (Bab 6)

14 Juli 2023   16:18 Diperbarui: 14 Juli 2023   16:26 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com/fractals99

Bab 6: Pertemuan dengan Aisyah

Aku menoleh ke sumber suara yang memanggilku. Ternyata Mas Tejo. Dia pun bekerja di sana. Dia tampak membawa nampan yang berisi piring berisi buah-buahan dan sebotol besar minuman soda beserta gelas-gelas kecil.


"Mas Tejo sudah di sini?"


"Iya. Ya, sudah ikuti saja Bos Tohir itu. Jangan sampai mengecewakannya. Aku ke sana dulu." Mantan suamiku itu berlalu begitu saja.
Setelah sadar aku pun lekas mengikuti Pak Tohir, masuk ke ruangan yang sudah dibuka oleh Pak Tohir tadi.


"Yati, sini duduk di sebelah saya," perintah Pak Tohir. Dengan risi dan segan aku mengikuti perintah beliau. Sempat beliau hampir menjamah pipiku, tetapi segera kutepis.


Di sana, aku bekerja sebagai pemandu karaoke. Seperti memutarkan musik, menuangkan minuman ke gelas para tamu, menemani, dan apa pun perintah pelanggan kita harus mematuhinya tanpa tapi. Jam di dinding sudah menuju angka 12 malam. Para pelanggan di ruangan aku dan Pak Tohir baru saja pulang. Pak Tohir pun mengajakku pulang.


"Kamu sudah tahu, kan, pekerjaan di sini harus ngapain aja?" tanyanya saat jalan menuju mobil.


"Sudah, Pak."


"Jangan sekali-kali membuat aku marah lagi. Kalau tidak kamu akan aku usir dari kos dan kamu tak akan bisa bertemu anakmu."


Ancaman Pak Tohir sedikit membuatku takut. Namun, aku tak kuasa melawan. Hanya anggukan kaku yang bisa kusuguhkan. Tepat pada jam 12 malam, aku sampai di kamar.


"Aduh, lelahnya. Ini semua demi Aisyah. Besok Mas Tejo janji akan mempertemukan kami." Aku bermonolog berikut senyum bahagia membayangkan wajah kecil putriku itu.
***


Seperti janji Mas Tejo, pagi ini dia hendak mempertemukanku dengan Aisyah. Aku begitu bersemangat pagi ini. Kamar sudah rapi, aku pun sudah rapi dan wangi. Seperti biasa Mas Tejo memintaku ke taman dekat indekos dulu.


"Ayok, Mas kita berangkat sekarang," ajakku antusias setelah menemukan sosok Mas Tejo di taman. Aku sudah tak sabar ingin bertemu Aisyah.


"Kamu benar ingin bertemu dengan Aisyah?" Mas Tejo tampak khawatir.


"Ya, benarlah, Mas."


"Kamu jangan menyesal nanti, ya."


"Kenapa harus menyesal?" Aku begitu terkejut dengan perkataan Mas Tejo barusan. Penasaran.


Mas Tejo tak menjawabku. Dia berlalu menuju motornya. Dia memberi isyarat kepadaku untuk segera naik ke kuda besinya. Entah kenapa jantungku berdebar tak karuan. Bukan karena dibonceng oleh Mas Tejo. Bukan. Melainkan karena akan bertemu buah hatiku, Aisyah.


"Turun."


Motor Mas Tejo berhenti di tempat parkir rumah sakit. Aku pun menuruti perintahnya. Pikiranku sudah tak tenang. Apa Aisyah sakit? Akan tetapi, mulut ini tak sanggup bertanya langsung kepada Mas Tejo. Takut. Aku takut kalau jawaban Mas Tejo tak sesuai harapan. Tak ada yang keluar dari mulut kami. Mas Tejo pun bungkam. Aku hanya mengekornya melewati lorong rumah sakit.


"Itu Aisyah." Telunjuk Mas Tejo mengarah ke ruang ICU rumah sakit ini. Di sana tergeletak tubuh Aisyah.


"Tidak mungkin," lirihku.


Mataku berkaca-kaca. Satu menit kemudian, butiran bening tak kuasa bertahan. Dia mengalir deras dari sudut mataku.


"Aisyah. Kamu kenapa sayang?" Badanku luruh di depan pintu ICU. Lemas.


"Ayok, ikut aku."


Mas Tejo memapahku menuju kursi terdekat dengan ruangan Aisyah. Dadaku tiba-tiba sesak.


"Maafkan aku, Yati yang tak mengawasi Aisyah. Aisyah tertabrak mobil saat bermain. Dan mobil yang menabrak Aisyah lari begitu saja. Sekarang Aisyah masih koma. Aku rela jadi budak Bos Tohir, ya, demi biaya rumah sakit Aisyah."


Panjang lebar Mas Tejo menjelaskan. Aku tak terlalu memperhatikannya. Yang ada di pikiranku sekarang hanya Aisyah. Maafkan Ibu, anakku.
***


Aku tak fokus saat bekerja di warung Mas Tresno. Untungnya pelanggan tak terlalu ramai.


"Mbak Yati, ada masalah?" Tiba-tiba Mas Tresno mendekat. Aku pun terkejut.


"Eh, Mas Tresno. Enggak pa-pa, kok, Mas. Oh, ya, panggil saja saya Yati. Enggak usah pakai Mbak."


"Kalau ada masalah cerita saja. Mana tahu aku bisa membantu. Benar enggak ada pa-pa?" Wajah sendu Mas Tresno mengisyaratkan ketulusannya.


"Benar, Mas. Kalau saya butuh bantuan, aku hubungi Mas Tresno. Oh, ya terima kasih banyak, ya, Mas."


Aku kembali berusaha fokus bekerja. Setelah bertemu Aisyah tadi, aku jadi tahu tulusnya Mas Tejo berjuang untuk biaya rumah sakit Aisyah. Aku tak menyangka. Baiklah. Sekarang, aku pun berkewajiban membantu Mas Tejo bekerja demi anak kami. Aisyah harus kuat, ya. Ayah dan Ibu ada untuk Aisyah. Maafkan Ibu.


Ramainya warung Ma Tresno mulai ramai. Hal ini sukses mengalihkan atensiku. Semakin banyak pelanggan, rasanya hatiku semakin bersemangat untuk bekerja.


"Yati, tolong itu di meja nomor 3 baru datang. Tolong dilayani," titah Mas Tresno.


"Baik, Mas."


Dari belakang aku sepertinya kenal dengan punggung pelanggan meja nomor 3 ini. Benar. Dia Mas Walid. Aku harus bagaimana ini?


"Eh, Mas Walid." Aku tersenyum kaku.


"Iya, aku ke sini karenamu. Kamu sehat, kan?"


"Iya, Mas sehat. Mau pesan apa?"


Mas Walid pun memesan untuk dua orang. Di meja itu memang ada dua orang. Mungkin lelaki di sebelahnya itu temannya. Setelah aku mengantarkan pesanan Mas Walid, aku dipanggil Mas Tresno.


"Pelanggan meja nomor 3 itu, kan, yang kemarin ngobrol denganmu, to? Kamu tahu enggak siapa dia?" bisik Mas Tresno di dekat telingaku.


"Iya, emangnya siapa dia Mas?"


"Dia itu juragan karpet, loh. Banyak cabang toko karpetnya. Tapi, hidupnya sederhana. Lihat makannya saja di warung saya yang kecil begini. Padahal, makan di restoran tiap hari pun sanggup dia."


Memang Mas Tresno ini punya banyak informasi tentang pelanggan-pelanggan tetapnya. Mungkin ini salah satu cara pendekatan dengan pelanggannya supaya nyaman di warung ini. Tak lama Mas Walid mengajakku keluar sebentar lagi setelah membayar makanannya.


"Ada apa lagi, Mas? Kan, sudah saya bilang. Saya itu janda dan punya anak." Aku menegaskan sekali lagi. Mana tahu Mas Walid lupa tentang keadaanku kemarin.


"Aku tak peduli."


Seketika hatiku menghangat. Aku pun tak sadar menarik ujung garis mulutku. Namun, aku tersadar kala Mas Walid berdehem keras. Aku semakin malu. Kualihkan wajahku supaya Mas Walid tak memandang wajahku yang semakin malu.


"Kamu juga suka denganku, kan?"


Aku kaget, lalu memandang wajah Mas Walid kembali. "Apa?"


Mas Walid tergelak-gelak melihat ekspresiku. "Aku anggap jawabannya 'iya'."


"Tapi, Mas ...."


Belum sampai aku menyelesaikan ucapan, Mas Walid berlalu berikut dengan senyuman menangnya. Aku kaku, terpaku. Untuk beberapa detik jantungku serasa berhenti. Aku menatap punggung Mas Walid hingga menghilang dari pandanganku.


"Yati!" Suara Mas Tresno agak berteriak memanggil namaku. Kualihkan pandanganku ke sumber suara. Mas Tresno melambaikan tangannya. Masih dengan pikiran yang rumit, kulangkahkan kaki pelan.
***

Terima kasih, Teman-Teman yang sudah membaca kisah Yati. Jangan lupa like, share, ya. Kamu juga bisa menonton youtube Cerita Keren juga untuk cerita ini.

https://www.youtube.com/watch?v=DnL6lta4uoU&list=PLzgjcne0tYCkR4kVY04m9_McYzwfanjlA&index=6


Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com
Source: coretanzahrawardah.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun