“Rinduku tak mengenal kata menunggu. Rinduku adalah kamu,” Jawabku.
Kamu bangkit dari pundakku. Menatapku diujung kata itu. Senyumanmu adalah surga kecil bagiku. Aku bisa merasakan nafasmu yang menyentuh bibirku. Jantung kita berdegup seirama. Keringat dingin mulai jatuh dari keningmu. Tatapan itu berlangsung lama. Kamu seperti memberi pesan untukku.
“Maaf,” Katamu memelas.
“Kenapa??” Tanyaku lembut.
“Aku nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Aku harus terima lamaran itu. Aku nggak mau orang-orang membicarakan kita lagi. Aku mau hidup tenang, nyaman tanpa beban moral,” Tangismu pecah di taman itu. Keningku beradu mendengar ucapanmu.
“Maaf... Kita bukan garis yang ditakdirkan bertemu.”
Dalam dinginnya malam, kamu meninggalkanku bersama keheningan yang merajai tubuh. Ketakutanku tiba. Aku telah kehilanganmu.
-----
Dalam secangkir kopi rinduku menjelma tangis yang menderu. Rasa pahit yang mengecap di pinggir cangkir terpaksa kucium. Aku tahu hitamnya kopi tak akan pernah mengembalikanmu. Seperti perasaan yang entah mengarah kemana. Rinduku terbentur pekatnya kopi. Bukan soal latte art, kita tahu kopi tubruk adalah kita, kesederhanaan. Orang-orang akan terpikat ketika mengenalnya lebih dalam. Kopi tubruk bukan perkara kemudahan, kedahsyatannya ada. Aromanya memikat. Seperti kamu.
Aku rindu secangkir kopi yang kita minum berdua. Rindu senyumanmu sore itu. Rindu setiap kata yang keluar dari bibirmu. Bibir yang pernah merasakan keringat di keningku, juga yang pernah merasakan lembutnya bibirku. Aku tahu perkara ini tidak mudah, melepaskanmu, merelakanmu disaat cinta telah lama menetap. Aku rindu menatapmu, aku rindu larut dalam pelukan hangatmu yang tetap terasa bahkan saat kamu tak ada.
19 Juli. Hari pernikahanmu, juga hari ulang tahunku ke-27, sebuah dilema bagiku. Aku masih percaya kamu terpaksa menerima lamaran itu. Desakan keluargamu tak bisa ditolak. Aku percaya kamu masih mencintaiku. Aku juga tahu, aku tamu yang paling kamu tunggu.