Sudah setahun aku tak bertemu kamu. Rasanya memang tak ada bedanya. Kesadaran datang terlambat. Aku memilih untuk tetap menaruh kamu di kedalamanku. Menolak semua yang datang. Mengusir semua yang memilih menetap. Aku bukan pelari yang kuat mengejarmu hingga tetes keringat menjelma banjir di tubuh. Aku hanya perlu menjadi bagian dari waktu, yang bisa kapanpun menyelami setiap menit dan detik, kembali ke masa itu. Saat percakapan mempertemukan kita dalam secangkir kopidengan kesadaran penuh bahagia.
Kopi menjadi medium bagi orang-orang yang mencari pelarian. Juga menjadi bagian sejarah dalam Revolusi Perancis di tahun 1789 dan Perang Aceh saat dipimpin Cut Nyak Dhien. Kopi menjadi medium bagi prajurit membicarakan strategi dan taktik perang. Warung-warung kopi disulap menjadi tempat rapat dan berdiskusi. Tidak ada satupun penjajah yang mengetahui taktik ini. Para Prajurit akan menyamar menjadi pengunjung saat musuh mampir untuk menikmati secangkir kopi. Kopi juga menjadi alasan dimana aku dan kamu dipertemukan.
Aku ingat pertemuan pertama kita di kafe itu. Saat seorang pelayan meneriakkan Kopi Menoreh yang sama-sama kita pesan. Basa-basi menggiring kita dalam meja yang sama. Satu jam berjalan, kita bicara banyak soal selera musik.
“Suka musik apa?” Tanyaku serius.
“Relatif, tapi aku paling suka musik jazz,” Jawabmu, menghirup aroma Kopi Menoreh.
“Louis Amstrong?”
“Iyaaa, tapi aku paling suka Jimy Rushing,” Katamu, menambahi.
“Really? Jimy Rushing? Kita sama berarti.”
“Aku masih sering lihat perfomancenya di youtube, waktu dia duet sama Dizzie Gillespie Quintet,” Katamu, setelah meminum kopi.
“Aku tahu! Blues After Dark kan?”
“Iyaaa! Perancis 1959.”